Selasa, 01 Juli 2008

Kedudukan Masyarakat dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

oleh :

Aris Ahmad Risadi

Paradigma good governance menghendaki kedudukan masyarakat (civil society) dapat berdiri sejajar dengan sektor pemerintahan (public sector) dan sektor swasta (private sector). Masyarakat diharapkan mampu menjaga dan mengembangkan aturan main (rule of the game) dan etika (rule of ethics) dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik – dalam hal ini masyarakat tidak ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficieris) semata. Sementara, sektor pemerintahan diharapkan mampu memberikan pengarahan kebijakan, pengaturan dan pengendalian kehidupan warga negara, dan sektor swasta menciptaan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan melalui kegiatan produksi dan distribusi barang dan jasa.

Menurut Undang-undang No. 25 Tahun 2004, Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat Pusat dan Daerah. Masyarakat dalam hal ini diartikan sebagai orang per seorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum yang berkepentingan dengan kegiatan dan hasil pembangunan baik sebagai penanggung biaya, pelaku, penerima manfaat maupun penanggung resiko.

Secara semangat (normatif) undang-undang ini telah mencoba mengakomodir prinsip partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Hal tersebut bisa dilacak dari uraian-uraian yang termaktub didalamnya seperti pada : pengertian, asas dan tujuan dari sistem perencanaan pembangunan nasional. Dalam penjelasan UU disebutkan bahwa salah satu pendekatan dalam seluruh rangkaian perencanaan adalah pendekatan partisipatif (selain pendekatan politik, teknokratik, top-down, dan bottom-up). Pendekatan partisipatif ini dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan ini untuk mendapatkan aspirasi dan menciptakan rasa memiliki.

Hanya saja dalam pengaturan lebih lanjut tampaknya peran masyarakat secara formal dalam UU ini ditempatkan dalam ruang yang terbatas. Dalam penjelasan disebutkan bahwa proses Perencanaan Pembangunan terdiri atas empat tahap yaitu: i) penyusunan rencana, ii) penetapan rencana, iii) pengendalian pelaksanaan rencana, dan iv) evaluasi pengendalian rencana. Dimana letak peran serta masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan tersebut ?

Pelibatan masyarakat diberi ruang pada tahap pertama Perencanaan Pembangunan (yaitu penyusunan rencana). Tahap pertama sendiri memiliki 4 (empat) langkah, yaitu: Langkah pertama, adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur; Langkah Kedua, masing-masing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan; Langkah Ketiga, pelibatan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang dihasilkan masing-masing jenjang pemerintahan melalui musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang); dan Langkah Keempat, penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

Tidak Ada yang Baru

Kalau mencermati ketentuan tentang porsi pelibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan seperti diatur dalam UU No. 25 Tahun 2004 tersebut, tampaknya tidak ada yang baru. Sebab ruang pelibatan masyarakat yang minim seperti itu merupakan praktek yang selama ini telah dan sedang terjadi. Lihat Surat Edaran Mendagri No. 50 Tanggal 5 Mei Tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Forum Koordinasi Pembangunan Partisipatif.

Sebelumnya telah diatur juga dalam Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman, Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Dalam Kepmendagri tersebut diatur bahwa untuk menetapkan AKU (Arah Kebijakan Umum) salah satunya harus memperhatikan hasil Penjaringan Aspirasi Masyarakat (sering disingkat Jaring Asmara).

Malah jauh sebelumnya juga telah diatur dalam Surat Edaran Meneg Otoda tentang Kebijakan Penyusunan APBD Tahun 2000, dimana untuk penyusunan Anggaran Pembangunan harus dibuat secara bottom up sejak dari penggalian usulan program dalam Musbangdes (Musyawarah Pembangunan Desa) untuk wilayah desa, dan Musyawarah Kelurahan untuk wilayah kelurahan. Hasilnya kemudian dibawa ke forum UDKP (Unit Daerah Kerja Pembangunan) di tingkat kecamatan.

Sempit dan Distortif

Ruang partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan seperti itu disamping dinilai terlalu sempit, dalam prakteknya juga telah terjadi distorsi yang semakin memperkecil akses masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan.

Dalam banyak kasus, forum Musbangdes kurang optimal dimanfaatkan sebagai media penampung aspirasi masyarakat sehingga hasil yang kemudian diajukan ke UDKP hanyalah usulan dari kepala desa/lurah dan perangkatnya tanpa melibatkan masyarakat lagi.

Hasil UDKP dipilah secara sektoral untuk diserahkan kepada instansi terkait. Pembahasan anggaran pembangunan di instansi menghasilkan Daftar Usulan Proyek atau mungkin sekarang RASK (Rencana Anggaran Satuan Kerja) yang kemudian dibahas di forum Musrenbang (dulu dikenal Rakorbang atau Rapat Koordinasi Pembangunan) Kabupaten/Kota. Dalam forum Musrenbang/Rakorbang ini penekanan bahwa sebuah usulan program muncul dari sebuah desa/kelurahan sudah tidak tampak lagi, karena sudah terkalahkan oleh usulan program sektoral masing-masing instansi, apalagi wakil masyarakat desa/kelurahan tidak terlibat lagi dalam forum ini.

Dalam praktek, proses bottom-up tersebut selalu terhalang juga oleh 2 (dua) hal, yaitu: pertama, tabrakan dengan program-program yang telah disusun (baca: diatur) dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi, walaupun sesungguhnya program-program tersebut sesuai dengan kebijakan otonomi daerah masuk wilayah kewenangan daerah. Pemerintah Daerah tidak lagi punya pilihan (apalagi masyarakat !). Maka jangan disalahkan jika pada akhirnya kegiatan yang menghabiskan dana yang sangat besar menjadi mubazir karena tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. Kedua, pemotongan program oleh tingkat pemerintahan yang lebih tinggi karena keterbatasan anggaran yang tersedia . Pemotongan ini terjadi terutama pada level setelah UDKP.

Belum lagi kalau mencermati dari besarnya anggaran untuk Belanja Pembangunan atau Belanja Pelayanan Publik yang secara rata-rata nasional lebih kecil jika dibandingkan dengan yang dialokasikan untuk Belanja Rutin atau Belanja Aparatur. Secara Nasional pada tahun 2002, misalnya, Belanja Rutin mencapai 56,1 %, sementara untuk Belanja Pembangunan hanya 43,9 %. Malah ada di suatu kabupaten, porsi untuk Belanja Pembangunan hanya 10 % saja. Hal ini tentu mempersempit ruang partisipasi masyarakat didalam perencanaan pembangunan, sebab secara formal partisipasi masyarakat hanya mungkin tertampung dalam perumusan Belanja Pembangunan atau Belanja Pelayanan Publik.

Ruang partisipasi yang agak nyata adalah pada proyek-proyek pemberdayaan yang menggunakan pendekatan Multi-stakehorlders Processes, seperti: P2KP, P2D, dan perhutanan sosial. Hanya saja kegiatan tersebut masih berskala proyek dan kecil. Tampaknya memang, keinginan mendudukan peran masyarakat secara sejajar dengan sektor pemerintahan dan swasta didalam perencanaan pembangunan nasional sesuai tuntutan paradigma good governance sudah ada upaya-upayanya namun belum sepenuhnya ditransformasikan dalam tataran konstitusi maupun praktis.