Minggu, 25 Desember 2011

Sebentar Kita Telephon


Salah satu yang selalu saya syukuri ketika berkunjung ke pelosok negeri yaitu adanya warisan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Indonesia yang sangat luas ini tak dapat dibayangkan jika tidak memiliki bahasa persatuan.

Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. Panjang pantainya mencapai 95.181 km. Luas wilayahnya 199.255.078,01 km2. Jumlah pulaunya dilaporkan secara resmi ada 17.480 pulau. Namun berdasarkan catatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) yang dilihat melalui citra setelit (Tahun 2002), hamparan wilayah lautan Indonesia memiliki 18.306 pulau. Dimana 6.000 pulau diantaranya menurut Kementerian Dalam Negeri terhitung 31 Desember 2010 dihuni oleh lebih dari 259 juta orang. Warga Negara Indonesia terdiri dari 300 kelompok etnik yang menggunakan 748 bahasa ibu.

Walaupun Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu bagi penuturnya, tapi saat ini Bahasa Indonesia telah berhasil menjadi bahasa persatuan bangsa. Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Fonologi dan tata-bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Sehingga janganlah kaget jika anda main ke pedalaman Papua akan ditemui masyarakat asli dapat berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik.

Hanya saja dalam beberapa kasus di daerah akan ditemui penggunaan kata atau istilah Bahasa Indonesia yang maknanya bisa berbeda dengan makna yang kita pahami, sehingga banyak pengalaman yang menggelikan. Dan susah dilupakan.

Pada suatu kesempatan di Makassar, tepatnya pada Tahun 1998, saya yang asli Kuningan Jawa Barat bermaksud bertemu dengan seorang Pejabat Pemda Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, sebut saja namanya Bapak Daeng Tompo. Namun karena kesibukannya, beliau sangat sulit untuk ditemui. Saya saat itu tidak hilang akal, saya coba telephon sahabatnya, sebut saja beliau Bapak Andi Rahmat.

"Assalamu'alaikum Pak Andi, apa kabar ?" saya mengawali pembicaraan. "Begini pak, saya ingin bertemu dengan Pak Daeng Tompo, tapi sulit sekali menghubungi beliau," demikian keluh saya kepada Pak Andi Rahmat.

Dengan gaya makassar-an Pak Rahmat menjawab tegas, "Sebetulnya mudah saja ketemu beliau pak. Beliau ada di Makassar. Sebentar kita telephon untuk membuat janji ketemu." Senang rasanya saya mendapat jawaban Pak Rahmat.

Setelah beberapa waktu, saya telephon kembali Pak Rahmat untuk mengetahui perkembangan atas janjinya memfasilitasi pertemuan saya dengan orang yang menangani perencanaan pembangunan pasar Kabupaten Takalar tersebut.

Dengan penuh harap saya telephon Pak Rahmat, "Assalamu'alaikum, bagaimana pak ? apakah Pak Daeng sudah ditelephon ?" Dengan tidak merasa bersalah, Pak Rahmat menjawab, "Lho... kapan saya berjanji untuk menelphon Pak Daeng ?"

Gudubrag.. !!! baru saya tersadar. Ketika tempo hari Pak Rahmat berkata, "sebentar kita telephon", ternyata maksudnya beliau menyuruh saya untuk langsung menelephon Pak Daeng Tompo. Di Makassar rupanya kata "sebentar" bisa bermakna "nanti". Dan kata "kita" bisa berarti "anda" sebagai penghalusan dari kata "anda" atau "kamu". Jadi makna lugas dari "sebentar kita telephon" kalau di Makassar yaitu "nanti anda telephon". Nah !