Minggu, 25 Desember 2011

Sebentar Kita Telephon


Salah satu yang selalu saya syukuri ketika berkunjung ke pelosok negeri yaitu adanya warisan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Indonesia yang sangat luas ini tak dapat dibayangkan jika tidak memiliki bahasa persatuan.

Indonesia terbentang dari Sabang sampai Merauke. Dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote. Panjang pantainya mencapai 95.181 km. Luas wilayahnya 199.255.078,01 km2. Jumlah pulaunya dilaporkan secara resmi ada 17.480 pulau. Namun berdasarkan catatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) yang dilihat melalui citra setelit (Tahun 2002), hamparan wilayah lautan Indonesia memiliki 18.306 pulau. Dimana 6.000 pulau diantaranya menurut Kementerian Dalam Negeri terhitung 31 Desember 2010 dihuni oleh lebih dari 259 juta orang. Warga Negara Indonesia terdiri dari 300 kelompok etnik yang menggunakan 748 bahasa ibu.

Walaupun Bahasa Indonesia bukan bahasa ibu bagi penuturnya, tapi saat ini Bahasa Indonesia telah berhasil menjadi bahasa persatuan bangsa. Bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, di media massa, sastra, perangkat lunak, surat menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa Bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia. Fonologi dan tata-bahasa Bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu. Sehingga janganlah kaget jika anda main ke pedalaman Papua akan ditemui masyarakat asli dapat berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik.

Hanya saja dalam beberapa kasus di daerah akan ditemui penggunaan kata atau istilah Bahasa Indonesia yang maknanya bisa berbeda dengan makna yang kita pahami, sehingga banyak pengalaman yang menggelikan. Dan susah dilupakan.

Pada suatu kesempatan di Makassar, tepatnya pada Tahun 1998, saya yang asli Kuningan Jawa Barat bermaksud bertemu dengan seorang Pejabat Pemda Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan, sebut saja namanya Bapak Daeng Tompo. Namun karena kesibukannya, beliau sangat sulit untuk ditemui. Saya saat itu tidak hilang akal, saya coba telephon sahabatnya, sebut saja beliau Bapak Andi Rahmat.

"Assalamu'alaikum Pak Andi, apa kabar ?" saya mengawali pembicaraan. "Begini pak, saya ingin bertemu dengan Pak Daeng Tompo, tapi sulit sekali menghubungi beliau," demikian keluh saya kepada Pak Andi Rahmat.

Dengan gaya makassar-an Pak Rahmat menjawab tegas, "Sebetulnya mudah saja ketemu beliau pak. Beliau ada di Makassar. Sebentar kita telephon untuk membuat janji ketemu." Senang rasanya saya mendapat jawaban Pak Rahmat.

Setelah beberapa waktu, saya telephon kembali Pak Rahmat untuk mengetahui perkembangan atas janjinya memfasilitasi pertemuan saya dengan orang yang menangani perencanaan pembangunan pasar Kabupaten Takalar tersebut.

Dengan penuh harap saya telephon Pak Rahmat, "Assalamu'alaikum, bagaimana pak ? apakah Pak Daeng sudah ditelephon ?" Dengan tidak merasa bersalah, Pak Rahmat menjawab, "Lho... kapan saya berjanji untuk menelphon Pak Daeng ?"

Gudubrag.. !!! baru saya tersadar. Ketika tempo hari Pak Rahmat berkata, "sebentar kita telephon", ternyata maksudnya beliau menyuruh saya untuk langsung menelephon Pak Daeng Tompo. Di Makassar rupanya kata "sebentar" bisa bermakna "nanti". Dan kata "kita" bisa berarti "anda" sebagai penghalusan dari kata "anda" atau "kamu". Jadi makna lugas dari "sebentar kita telephon" kalau di Makassar yaitu "nanti anda telephon". Nah !

Sabtu, 22 Oktober 2011

Reshuffle “Sopir Tembak”

Oleh:
Aris Ahmad Risadi

Drama Reshuffle sementara berakhir. Setelah disambut publik secara antusias, cerita akhirnya berjalan anti klimak. Tuntutan adanya reshuffle yang sejatinya dikarenakan buruknya kinerja dan indikasi korupsi di jajaran kabinet berujung mengecewakan. “Uuu…..”, penontonpun kecewa. Karena faktanya, menteri yang berprestasi, seperti Fadel Muhammad dicopot, sementara menteri yang diindikasikan korupsi tetap bertahan. Dan penilaian UKP4 (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan) sebagai salah satu ukuran kinerja kabinet tidak menentukan.

Ini memang hak prerogatif presiden. Namun kalau ada partai atau mantan menteri yang dicopot mempertanyakan alasan reshuffle bisa dipahami. Kita, sebagai penonton yang tidak terlibat dan tidak tahu persis permainan “sinetron” ini hanya bisa menduga-duga.

Mungkin kebetulan. Reshuffle sekarang bersamaan dengan pemberitaan kejahilan para sopir tembak yang mengganggu keamanan penumpang. Terlintas dalam pikiran, “drama reshuffle ini mirip dengan kisah sopir tembak.”

Dalam dunia angkutan umum dikenal istilah sopir tembak. Dia adalah sopir yang menggantikan sopir resminya. Pikiran sopir tembak itu pendek. Dia hanya berpikiran untuk mendapatkan uang hari itu. Rasa memiliki terhadap kendaraan dan keberlangsungan usaha sangat rendah, sehingga wajar jika kendaraan yang sering dibawa sopir tembak menjadi cepat rusak. Bahkan, beberapa tindakan kriminal acap kali dilakukan oleh awak ilegal ini. Fakta tersebut merupakan bagian kekumuhan pengelolaan angkutan publik kita, disamping problema lainnya seperti banyaknya percaloan serta pungutan liar.

Reshuffle kali ini idealnya dilakukan dalam rangka memberantas “gaya sopir tembak” yang sebagian dipraktekan dalam pengelolaan kementerian. Sistem presidensial setengah hati yang terjerat partai koalisi telah menyebabkan pengelolaan kementerian menjadi mirip pengelolaan angkutan umum di atas.

Menteri yang diajukan partai seringkali bukan professional. Dia mungkin tokoh partai, tapi seringkali tidak memiliki kecakapan yang sesuai dengan kebutuhan kementerian yang dipimpinnya. Tidak heran jika kedapatan menteri tidak mampu bekerja sesuai arahan dan kontrak kinerja dengan presiden yang mengangkatnya. Malah sering terjadi menteri lebih asyik dengan agendanya sendiri untuk kepentingan partai atau pihak sponsor yang menuntut balas jasa. Ibarat sopir tembak, dia mengangkut penumpang di luar trayek resminya. Buktinya, sesuai dengan laporan UKP4, direktif Presiden yang bisa dikerjakan menteri hanya kurang dari 50 %. Ini sangat memprihatinkan. Jadi publikasi di ragam media tentang aktivitas kabinet yang sangat gencar, laksana pepesan kosong belaka.

Menteri ini tampaknya seperti juga sopir tembak, dalam menjalankan pemerintahan ada yang berjalan ugal-ugalan. Bahkan kebiasaan sopir tembak yang bekerjasama dengan para calo, terjadi juga di kabinet. Oknum partai yang mengelilingi menteri, baik yang resmi diangkat atau apapun namanya, dapat mengganggu jalannya kementerian. Penumpang pun terabaikan bahkan turut dieksploitasi. Alih-alih melakukan reformasi birokrasi, gaya kepemimpinan menteri yang buruk dan kepentingan sesaat partai telah mengganggu kinerja birokrasi dalam melayani masyarakat dan menjalankan program pembangunan.

Sesungguhnya masih ada menteri yang baik di kabinet ini. Tapi untuk menteri yang berperilaku seperti sopir tembak memang sepatutnya diganti. Bukan hanya itu, untuk memperbaiki kinerja kabinet, para calo yang kerap mengambil peran sebagai birokrasi bayangan harus juga dihilangkan. Jika perilaku sopir tembak dan calo-calo ini dibiarkan, maka bukan hanya kinerja kementerian yang merosot, tapi kehancuran birokrasi tinggalah menunggu waktu.

Persoalannya, siapa yang peduli sekarang, kalau semua pelayan publik sudah bermental calo. Mau uangnya tapi tidak mau bekerja. Bahkan para calo ini tidak peduli, apakah penumpangnya sampai tujuan atau tidak.

Dalam sisa tiga tahun Kabinet Indonesia Bersatu II, rakyat berharap Presiden dapat memimpin perubahan kinerja kabinet secara nyata, sehingga terwujud kabinet yang mampu bekerja menyelesaikan setiap problematika bangsa serta bersih dari tindakan korupsi. Adakah reshuffle sekarang menjawab harapan tersebut ? Dalam hal ini, betul kata Ebiet G. Ade, “Tanyakan sama rumput yang bergoyang.” Kalau tidak, maka rakyat seperti juga penumpang, akan mudah pindah ke lain hati. Dia akan mencari moda transportasi alternatif yang lebih baik.

Bojongkulur, Gunung Putri, Bogor 20 Oktober 2011
Aris Ahmad Risadi
Perkumpulan Studi dan Pembangunan Indonesia (PSPI)

Kamis, 04 Agustus 2011

Speaker Masjid Ramah Lingkungan


Republika 4 Agustus 2011 memberitakan tentang adanya Peraturan Bersama Menteri Nomor 8 dan 9 Tahun 2009 yang mengatur penggunaan pengeras suara (speaker) untuk tempat beribadah. Dijelaskan juga oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Umat Beragama Slamet Effendi Yusuf, bahwa ketentuan ini tidak bertujuan membatasi dakwah Islam. Ketentuan ini bermaksud mengatur penyiaran agama agar tak menimbulkan persoalan dalam pluralitas hidup beragama dan berkeyakinan.

Sebagai seorang muslim saya sangat setuju dengan peraturan tersebut. Cuma kenapa peraturan yang sudah dikeluarkan dua tahun lalu tersebut kurang sosialisasi, sehingga ketidakteraturan penggunaan speaker masih saja terjadi sampai sekarang. Tentang keluhan speaker ini bahkan pernah dituliskan dalam buku yang berjudul “TOA of Islam” oleh KAHMI Pro Network.

Di lingkungan kami bahkan ada mushola lain yang suaranya lebih keras dari suara imam yang ada di masjid tempat kami sholat. Di Masjid kami sendiri telah lama menerapkan kebijakan untuk membatasi penggunaan speaker sebagai inisiatif sendiri, karena tidak tahu adanya peraturan di atas. Masjid kami menerapkan kebijakan bahwa speaker luar hanya untuk adzan, sementara untuk kebutuhan lainnya menggunakan speaker dalam. Alhamdulillah kegiatan keagamaan di lingkungan kami dapat berjalan dengan baik, walaupun hanya menggunakan speaker dalam.

Saya kira peraturan tersebut perlu lebih disosialisasikan oleh Pemerintah, dan disertai kesadaran dari umat Islam sendiri untuk menjadikan masjid/mushola kita ramah lingkungan. Wallahualam.

Aris Ahmad Risadi
Sekretaris Umum DKM Al-Amin
Bumi Mutiara, Bojongkulur, Gn. Putri, Bogor

Rabu, 03 Agustus 2011

Wilayah Tertinggal yang Ditinggal


oleh:
ARIS AHMAD RISADI


Pada tanggal 5 Juli 2011 Kompas menurunkan tulisan yang berjudul “Membangun Asa di Daerah Tertinggal”. Berkisah tentang perjuangan dan kesulitan Ruslan Suparlan dalam membangun Desa Sundawenang, wilayah terpencil di Kabupaten Tasikmalaya.

Wilayah tempat perjuangan Kang Ruslan boleh jadi memang terpencil, tertinggal, dan bahkan mungkin desanya dikatagorikan sebagai desa tertinggal yang membutuhkan perhatian serius Pemerintah. Hanya saja ini ironis, karena Kabupaten Tasikmalaya yang tidak termasuk dalam daftar daerah tertinggal dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2010-2014 sejatinya tidak memiliki wilayah tertinggal. Apalagi desanya Kang Ruslan hanya berjarak 12 kilometer dari ibukota kabupaten.
Kasus seperti Desa Sundawenang ini banyak di Indonesia, yaitu adanya desa/wilayah tertinggal di kabupaten yang tidak dikatagorikan sebagai daerah tertinggal. Kondisi ini menimbulkan masalah sendiri, terutama dalam merumuskan kebijakan/program, dan alokasi anggaran.

Seperti telah diketahui bahwa RPJMN telah menetapkan sebelas prioritas nasional yang diantaranya adalah “Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pasca Konflik”. Penetapan prioritas ini telah memaksa Kementerian/Lembaga untuk menjadikan 183 daerah tertinggal yang dicantumkan dalam RPJMN (sesuai Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010) untuk menjadi anak emas. Kebijakan ini telah menjadikan wilayah seperti Desa Sundawenang sebagai wilayah tertinggal yang ditinggalkan.

Pengertian Daerah Tertinggal

Untuk kepentingan perencanaan pembangunan, secara resmi telah dirumuskan pengertian dari daerah tertinggal. Suka atau tidak suka pengertian inilah yang kemudian menjadi dasar perumusan kebijakan dan alokasi anggaran.

Dalam dokumen Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (STRANAS PPDT) seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor 07/PER/M-PDT/III/2007, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional.

Pengertian ini memiliki tiga kata kunci yang perlu diperhatikan. Pertama, daerah kabupaten. Secara administratif, daerah tertinggal harus masuk dalam katagori kabupaten. Hal ini mengandung konsekuensi, bahwa daerah yang bernomenklatur kota, seperti Kota Sabang, Kota Tasikmalaya, dan Kota Tual tidak bisa dikatagorikan sebagai daerah tertinggal, betapapun mungkin secara fisik di kota-kota tersebut masih banyak wilayah tertinggal, atau bahkan terdapat desa-desa yang dikatagorikan tertinggal.

Kedua, Masyarakat dan wilayah. Ketertinggalan dilihat dari dua aspek pokok yaitu aspek masyarakat dan aspek wilayahnya. Kedua aspek ini dirinci kedalam enam kriteria pokok ketertinggalan yaitu: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas, dan karakteristik daerah. Data untuk masing-masing kriteria ini bersumber dari data resmi yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik dan Kementerian Keuangan, yaitu: Data Potensi Desa, Survei Sosial Ekonomi Nasional, dan Data Keuangan Daerah.

Ketiga, Relatif dalam Skala Nasional. Data-data masing-masing kabupaten diperbandingkan secara relatif dengan seluruh daerah kabupaten/kota yang ada di Indonesia.

Sejauh pengertian daerah tertinggal ini konsisten dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, maka pengertian daerah tertinggal yang dikeluarkan Pemerintah dapat menjadi alat ukur dan alokator anggaran yang objektif. Jika sebaliknya, maka penetapan daerah tertinggal tersebut justru potensial menjadi penyebab disparitas baru.

Upaya pemerintah untuk membuat kriteria objektif patut dihargai. Namun penghargaan ini hendaknya tidak menghalangi untuk mengkritisinya, sejauh mengandung kebenaran dan berguna bagi kesejahteraan rakyat. Karena seperti telah disampaikan, penetapan daerah tertinggal ini akan mempengaruhi kebijakan dan alokasi anggaran pembangunan.

Penetapan daerah tertinggal yang dilakukan pemerintah tampaknya tidak luput dari kekeliruan dan kelemahan, diantaranya: Pertama, Data daerah tertinggal yang tertuang dalam RPJMN 2005-2009 tidak sama persis dengan data daerah tertinggal yang ada di STRANAS PPDT 2005-2009. RPJMN 2005-2009 memasukkan Kabupaten Lingga (Provinsi Kepulauan Riau) dan Kabupaten Luwu Utara (Provinsi Sulawesi Selatan) sebagai daerah tertinggal, sementara kedua kabupaten tersebut dalam STRANAS PPDT 2005-2009 tidak dimasukkan sebagai daerah tertinggal. Dan sebaliknya, Kabupaten Natuna (Provinsi Kepulau Riau) dalam STRANAS PPDT 2005-2009 dikelompokkan sebagai daerah tertinggal, tapi dalam dokumen RPJMN 2005-2009 tidak dicantumkan. Untungnya dalam Kabinet Indonesia Bersatu jilid II digunakan data yang sama yaitu RPJMN 2010-2014.

Kedua, Asumsi yang kurang tepat ketika tiga puluh empat daerah otonom baru yang dimekarkan dari daerah induk yang berstatus daerah tertinggal langsung ditetapkan sebagai daerah tertinggal (dari 183 daerah tertinggal seperti tercantum dalam RPJMN 2010-2014). Sebetulnya perlu kajian yang lebih mendalam, karena boleh jadi dari tiga puluh empat daerah otonom baru tersebut ada yang tidak tertinggal, atau paling tidak ada daerah otonom baru yang dimekarkan dari non daerah tertinggal yang justru kondisinya lebih tertinggal yang tentunya menjadi lebih berhak untuk mendapatkan perhatian.

Ketiga, Data Potensi Desa yang digunakan sebagai dasar penetapan daerah tertinggal banyak mengandung kelemahan. Menurut Ivanovic Agusta (2007), mutu Data Potensi Desa belumlah prima. Data Potensi Desa Tahun 2006 terlalu banyak kesalahan ketik ketika menyebut komoditas unggulan desa, seperti seharusnya “padi” tetapi ditulis “3padi”, “padsi”, “padi s”, dan banyak lagi. Mengherankan pula mendapati desa hanya berpenghuni seorang penduduk perempuan, atau hanya berisi satu rumah tangga. Kesalahan seperti ini muncul sejak sensus sebelumnya. Pada Data Potensi Desa Tahun 2003 kesalahan pencatatan penduduk dapat mencapai 70% di suatu desa, meskipun di desa lain tidak lebih 20%. Kesalahan pencatatan infrastruktur bisa mencapai 50%, namun jumlah infrastruktur di desa biasanya relatif sedikit. Sekalipun berbalut kelemahan, Data Potensi Desa tetap satu-satunya data sensus desa yang dimiliki Indonesia dan dijadikan bahan perencanaan pembangunan.

Penetapan Desa Tertinggal

Pengertian daerah tertinggal berbeda dengan pengertian desa tertinggal. Masalah ini menjadi paradoks, ketika desa-desa tertinggal justru banyak juga berada di kabupaten yang dikatagorikan maju (non daerah tertinggal). Dari catatan yang dikeluarkan oleh Kementerian PDT, pada tahun 2007 terdapat 32.379 desa tertinggal dimana 54,51 % (17.649 desa) ada di daerah tertinggal, dan sisanya 45,49% (14.730 desa) berada di non daerah tertinggal.

Kita menyaksikan perjuangan untuk kemajuan desa tertinggal tidak dengan sendirinya masuk dalam wacana perjuangan pembangunan daerah tertinggal yang sudah membatasi diri pada batasan administratif kabupaten tertinggal dan tercantum dalam dokumen RPJMN.

Kalau begitu kondisinya, dapat dipastikan bahwa gerakan perjuangan untuk membangun daerah tertinggal yang meninggalkan keberpihakan kepada desa-desa tertinggal dan wilayah-wilayah tertinggal yang berada di kabupaten maju, menyebabkan penanganan ketertinggalan wilayah tidak akan pernah tuntas.

Kalaulah desa-desa tertinggal yang berada di daerah maju (non daerah tertinggal) sulit untuk dibangun melalui pendekatan pelaksanaan kebijakan prioritas nasional RPJMN, Pemerintah tetap perlu melakukan pendekatan kebijakan lain untuk menyentuh desa-desa tertinggal ini.

Disamping desa tertinggal, pemerintah seringkali menggunakan istilah daerah/desa terpencil dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat. Hanya saja pengertian daerah/desa terpencil ini digunakan terbatas dalam rangka pemberian insentif pajak, tunjangan pegawai, atau penyediaan sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan.
Wilayah terpencil atau daerah terpencil secara umum diantaranya diartikan sebagai wilayah yang sulit dalam berbagai aspek, seperti tidak/belum tersedia pelayanan umum, harga kebutuhan pokok yang sangat mahal, tidak/belum tersedia sarana komunikasi yang memadai, sehingga menimbulkan kesulitan yang tinggi bagi penduduk yang berdomisili di wilayah tersebut.

Namun demikian masing-masing kementerian/lembaga cenderung memiliki pengertiannnya sendiri tentang daerah/desa terpencil sesuai dengan kebutuhannya dan cenderung satuan yang diambil adalah desa. Istilah daerah/desa terpencil yang digunakan masing-masing kementerian/lembaga belum menggambarkan keseluruhan kebutuhan penangananan ketertinggalan wilayah.

Sehubungan dengan itu, tampaknya ada kebutuhan untuk dilakukan penyamaan persepsi dan konsepsi sebelum dilakukan koordinasi dan sinergitas program antar kementerian/lembaga dalam penanganan ketertinggalan wilayah.

Tidak adanya kesamaan konsepsi tentang ketertinggalan wilayah, menjadi salah satu sebab banyaknya wilayah tertinggal yang terlupakan.

ARIS AHMAD RISADI
Direktur Eksekutif
Perkumpulan Studi dan Pembangunan Indonesia (PSPI)
HP. 08128682754

Kamis, 09 Juni 2011

Waktu Sekarang : Kekayaan Utama Kita


Masalahnya bukan kapan kita meninggal, karena itu sudah pasti waktunya. Tidak bisa digeser: dimajukan atau dimundurkan. Masalah terpentinnya adalah saat sedang melakukan apakah kita wafat ?

Masa lalu tak kuasa lagi kita menggapainya. Kebaikan yang dilakukan semoga menjadi amal yang diridhoi Allah. Atas keburukan dan dosa yang dijalani, semoga Allah mengampuni.

Masa depan ? Kita tidak tahu. Masihkah kita memilikinya ?

Hal yang kita kuasai adalah waktu saat ini: detik ini, menit ini, jam ini, hari ini, bulan ini, tahun ini. Ini satu-satunya aset yang kita kuasai. Bahkan mungkin tidak sampai tahun ini umur kita. Bahkan mungkin tidak sampai bulan ini umur kita. Bahkan mungkin tidak sampai hari ini umur kita.

Sedang apakah kita sekarang ? Semoga Allah meridhoi langkah kita saat ini dan mewafatkan kita dalam keadaan khusnul khotimah. Amin, Ya... Robbal Aalamin...

Tanah Abang, 8 Juni 2011

Rabu, 01 Juni 2011

Kehidupan Penghantar Kematian


Perjuangan menuju kehidupan dapat berarti gerak mendekati kematian.

Seorang prajurit bermaksud mengantar surat pindah ke Semarang agar dekat dengan keluarga, ternyata menghantarkannya kepada kematian; karena tanpa dinyana, ketika duduk di gerbong belakang, Kereta Api yang ditumpanginya dihantam Kereta Api lain.

Basuki Sang Pelawak atau Bung Ajie Mas Said bermain Futsal biar segar bugar, ternyata futsal itulah yang menjadi syariat kematiannya.

Mbah Marijan, komit terhadap titah Sulan HB IX sebagai bentuk eksistensi hidupnya, ternyata beresiko kematian. Gunung Merapi mengamuk, Mbah Marijan tidak mau turun gunung. Akhirnya disapu awan panas, wedus gembel Gunung Merapi yang di-“jaga”-nya.

Sahabat, kerasnya upaya mencari kehidupan harus menjadi sarana kita dalam menggapai kematian yang khusnul khotimah. Kematian datang, kematian mendekat, ketika kita mencari kehidupan. Kematian, pintu gerbang kehidupan abadi.

Gunung Putri - Bogor, 1 Juni 2011

Saatnya Membangun Desa


Hidup di desa dengan masyarakatnya yang ramah serta kondisi lingkungan alam yang hijau menjadi harapan sebagian orang. Tidak heran jika ketika menghadapi masa pensiun atau menghadapi kegalauan karena kejamnya kehidupan perkotaan, banyak orang akhirnya ingin kembali ke desa. Tapi, ini tampaknya hanya ilusi.

Banyak masalah di perdesaan saat ini yang membutuhkah perhatian serius. Ketika arus balik lebaran, banyak wajah-wajah baru muncul di perkotaan. Masyarakat perdesaan berspekulasi, mengadu nasib di perkotaan, karena kehidupan di perdesaan dirasakan tidak lagi menyenangkan. Terutama karena sempitnya lapangan pekerjaan, dan karena sektor ekonomi perdesaan tidak lagi menjanjikan masa depan.

Dari data-data makro kita bisa tahu, betapa saat ini sedang ada permasalahan di perdesaan. Nilai PDRB/Tenaga Kerja sektor ekonomi perdesaan (pertanian) merupakan yang paling rendah (hanya Rp. 6,89 juta). Sementara sektor ekonomi perkotaan (jasa, keuangan, industri, dan lain-lain) bisa mencapai Rp. 15,09 juta s.d. Rp. 140,67 juta (BPS, 2009). Berdasarkan Data Potensi Desa (2006) hampir 45,2 persen dari 69.957 desa di Indonesia dinyatakan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal sebagai desa tertinggal. Dan menurut Badan Pusat Statistik (2009), 63 persen dari 32,53 juta penduduk miskin ada di perdesaan.

Hal ini menunjukkan masyarakat desa belum merasakan kesejahteraan sebagai buah kemerdekaan. Padahal Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, secara tegas mengatakan, “…untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia…..”.

Maka ketika membiarkan masyarakat desa tidak sejahtera, berarti telah melanggar konstitusi, dan hutang budi para Pejuang Kemerdekaan kepada masyarakat desa belum juga terbayarkan. Karena para Pejuang merebut kemerdekaan bangsa ini dilakukan secara bergerilya melawan Belanda dengan berpangkal pada desa-desa.

Satu tahun Kabinet Indonesia Bersatu II seharusnya menjadi momentum untuk kembali kepada komitmen membangun masyarakat desa. Perlu disadari bahwa sesungguhnya desa adalah inti Negara Indonesia merdeka. Menurut RPJM Nasional (2010-2014), cakupan kawasan perdesaan sekitar 82 persen wilayah Indonesia, dan ada sekitar 131,8 juta jiwa (56,86 persen) penduduk Indonesia bertempat tinggal dan menggantungkan hidupnya di perdesaan (2009). Sejarah telah membuktikan bahwa kekuatan terbesar yang memiliki daya tangkal paling handal untuk menghadapi berbagai hambatan, tantangan, dan ancaman adalah rakyat yang sebagian besar tinggal di perdesaan. Oleh sebab itu, ketahanan nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh ketahanan masyarakat desa.

Ada tujuh permasalahan yang menyebabkan keterpurukan desa (Kolopaking, 2007) yang perlu mendapat perhatian. Pertama, masyarakat dan desa kini masih menghadapi penurunan mutu ketersediaan infrastruktur dasar, baik fisik maupun infrastruktur sosial ekonomi untuk keluar dari ketidakberdayaan ekonomi. Kedua, ketimpangan kepemilikan lahan produktif. Ketiga, masyarakat miskin di perdesaan sangat rentan terhadap berbagai penyakit dan gizi buruk. Keempat, kapasitas kolektif masyarakat desa terus menurun dalam merespon tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada di desa. Masyarakat desa cenderung tidak berminat menemukenali dan mengelola potensi sumber daya yang ada di desa secara kreatif dan produktif untuk kemakmuran bersama. Kelima, pemerintah daerah masih belum optimal memfasilitasi keterlibatan Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan partisipasi masyarakat secara seimbang. Keenam, persoalan kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam yang diakibatkan oleh salah kelola sumber daya alam dan lingkungan. Ketujuh, pendekatan pembangunan birokratik dan sentralistrik selama ini telah membuat masyarakat desa menjadi sangat tergantung pada pihak luar, dan melemahkan desa sebagai sistem komunitarian yang otonom. Dalam beberapa kasus tertentu memporakporandakan kelembagaan sosial desa yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan, tetapi tidak berhasil mewujudkan kelembagaan baru sebagai tata-kelola pembangunan yang handal dalam menyelesaikan masalah di desa.

Upaya pemerintah dalam membangun perdesaan sebetulnya telah banyak dilakukan. Anggaran pembangunan perdesaan atau penanggulangan kemiskinan terus meningkat. Pemerintah telah memiliki banyak program yang berorientasi pada pembangunan masyarakat desa yang dikemas kedalam PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri. PNPM Mandiri saat ini menjadi program inti pemerintah dalam bidang pemberdayaan masyarakat, didalamnya memuat program-program yang dikelola oleh beberapa kementerian, yaitu: Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Pengembangan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Wilayah (PISEW), Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP).

Program di atas pada dasarnya baik. Hanya saja manfaat yang dirasakan belum terlalu signifikan. Program masih berjalan sendiri-sendiri, bersifat sektoral dan dalam pelaksanaannya masih belum sinergis satu sama lainnya. Akibatnya terjadi tumpang tindih program/kegiatan, baik sasaran maupun lokasi. Hal ini menyebabkan terjadinya in-efisiensi penggunaan anggaran, dan tujuan dan sasaran program tidak tercapai dengan baik. Dalam periode 2004-2008, jumlah anggaran untuk penanggulangan kemiskinan meningkat secara tajam, namun penurunan angka kemiskinan tidak sebanding. Menurut penilaian Kolopaking (2005) upaya mengejar ketertinggalan perdesaan melalui pemberdayaan untuk mencapai peningkatan kemakmuran jalan ditempat dan seolah-olah tidak menjanjikan. Tampaknya diperlukan langkah baru untuk mensejahterakan masyarakat desa.

Pembangunan Berbasis Lokal

Dalam rangka membangun perdesaan di masa yang akan datang PSEKP-UGM memberikan tawaran berupa rumusan kebijakan strategis pembangunan perdesaan yang diarahkan pada pembangunan berbasis lokal. Kebijakan strategis ini menitikberatkan pada proses pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural yang dimotori oleh masyarakat lokal dan memanfaatkan potensi-potensi lokal untuk pembangunan dalam upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat lokal.

Karakeristik program untuk pembangunan perdesaan perlu dirancang secara khusus. Dalam hal ini PSEKP-UGM dan Kajian Strategi Nasional Pembangunan Perdesaan (SNPP) paling tidak menawarkan 5 (lima) karakteristik program perdesaan yang harus dipenuhi, yaitu:

Pertama, Program pembangunan dikembangkan didalam kerangka wilayah, bukan sektoral. Wilayah tidak hanya dianggap sebagai tempat dimana sumber daya dan kegiatan ekonomi terjadi, tetapi juga sebagai agen perubahan karena perusahaan dan pelaku-pelaku lainnya di wilayah tersebut berinteraksi satu sama lain untuk bersama-sama membangun perekonomian dan masyarakat. Kedua, Program pembangunan ekonomi perlu menjadi upaya yang diarahkan untuk memaksimumkan manfaat bagi daerah lokal melalui pemanfaatan sumber daya lokal, fisikal maupun manusia dan budaya. Pengembangan ekonomi perdesaan berbasis lokal harus berjalan seiring dengan peningkatan keberdayaan masyarakat. Ketiga, Program pembangunan perlu dikontekstualkan melalui pemusatan perhatian terhadap kebutuhan, kapasitas, dan perspektif masyarakat lokal yang berarti bahwa suatu wilayah seyogyanya mengembangkan kapasitasnya untuk melakukan pembangunan sosio-ekonomi yang khas wilayah tersebut. Keempat, Program Pembangunan tidak terbatas hanya pada aspek ekonomis, tetapi juga untuk memperlakukan masalah-masalah ekonomi, ekologis, dan sosial secara setara sehingga dapat diharapkan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Kelima, Pentingnya program pembangunan yang mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama keputusan yang ditentukan sendiri (self-determined) oleh masyarakat lokal dan mengacu kepada kebutuhan lokal.
Beberapa pemikiran di atas merupakan tawaran yang dapat menjadi referensi dalam merencanakan pembangunan perdesaan ke depan. Disamping itu, tentu para pelaku pembangunan dalam operasionalisanya perlu dilengkapi dengan 5 (lima) unsur pokok manajemen perubahan yaitu: visi, keterampilan, insentif, sumber daya, dan rencana tindakan, agar tidak menimbulkan kebingungan, keresahan, bahkan frustasi. Melalui upaya itu semua diharapkan pembangunan perdesaan dapat berjalan secara berkelanjutan dan tercapainya kesejahteraan masyarakat desa. Semoga.

Aris Ahmad Risadi
Pemerhati Masalah Perdesaan

Kamis, 17 Februari 2011

Reverse Phone Detective: Seek for People Utilizing Their Numbers

Do you often obtain calls from unknown numbers? Do you find it annoying when you weren't able to answer calls because you are in the midst of something? And you can not call again as a result of you don't even know who called? Do you want to know who owns the number in your payments that your kids name? Do you want to be sure your associate will not be cheating on you though you see him/her receive calls at evening? Do you wish to search for an extended misplaced pal, relative or classmates however you only have their number? You wouldn't have to fret about those things anymore.
The Reverse Phone Detective is a reverse cellphone number lookup dealt with by a company running the net site that provides information with using a number. It could assist defend your loved ones and have personal safety by knowing who's behind mysterious calls. This service is easy to use and very useful because you do it with simply few clicks in your computer.
Using this lookup service could be useful especially if pressing information about the quantity is needed. Only a single number can provide long helpful results. These includes the identify of the owner, marital status and partner's identify, youngsters' title, previous and current deal with, location and cell supplier, neighbors' and relatives' name, detailed felony information (previous and current), and map locations. Also, the numbers that are not present in directories will be traced using this.
The very first thing done to use the Reverse Phone Detective is to enter the number within the search box. After seconds, there will likely be outcome previews provided for users. The address and city or states are given. But to entry all full particulars that the person desires require a payment. There aren't any other types to be crammed in or any requirements to use this lookup tool.
The advantages embrace quite a few member options, limitless seek for landlines and listed numbers, huge database protection together with location and cell supplier, safe and secure website, stable person support, huge vary of knowledge, and of course a 60-day cash pull out for dissatisfied customers.
However, there are disadvantages to using this service. The reverse lookup really affords great value of knowledge but it is not free. Folks must pay with a purpose to use it. The protection of the service is only out there for residents from US and Canada.
Utilizing the Reverse Phone Detective service is simple and will be finished in just a few steps with the computer. This search for device can provide you on the spot result not like hiring a non-public detective whereby you need to wait few months earlier than the results. It has extensive coverage and the database is loaded with information any person wants to obtain.

Is Free Webmail Email Becoming an Endangered Species?

People don't log on to Gmail or Yahoo Mail or Hotmail to check their e-mail as much anymore. That's what the web research company ComScore says. And the decline is pretty rapid too - more than 5% fewer visitors over just the past year. And people seem to be hanging around far less once they do log on too. Is it possible that the hottest killer app for the Internet since 1996 is beginning to evaporate? It certainly is in decline; but webmail e-mail isn't going away anytime soon. That isn't the problem. The problem is that if there are fewer people who use e-mail, Internet corporations like Microsoft and Google will no longer be able to easily provide free services the way we have been used to them.
Certainly, webmail email use hasn't fallen as much among the over-25 set. It's the crucial teenage group - those under 17 for instance, who seem to be departing the whole e-mail idea en masse. Only three-quarters as many teenaged visitors as a year ago log on to look at their e-mail anymore; and even among young people who do bother to log on, they don't seem to have any interest in spending much time - the time they spend in their e-mail accounts has fallen by about 50%. So where could they be going? What seems to be replacing e-mail for them? It's Facebook, in case you didn't guess.
Teens are just spending their whole time online on Facebook. Anyone they want to talk to is already on Facebook. The messaging service that Facebook provides seems entirely sufficient for them. They don't see any reason why they should sign on to Gmail or anything else just to say something to someone. It would just be too much trouble. While Facebook's mail service has just been barely adequate so far, they have announced a full-fledged mail service. It looks like ordinary web-based e-mail is really going to crumble under the Facebook assault.
Among people who are too old to actually have any interest in Facebook, e-mail use is still growing - something like 20% a year. But even Facebook isn't the biggest threats that webmail email faces. The biggest threat of them all is the mobile phone. Why the mobile phone? People are still logging onto Gmail or Hotmail through their mobile phones aren't they? Yes they are. The problem though is that smartphone screens are far too small for those e-mail companies to put any ads in on one side of your e-mail messages. If there are more and more people checking their Gmail and or Hotmail through their smartphones or other cell phones, Gmail and Hotmail are going to get fed up with how they're providing a service for free with not even a chance of putting out some advertising in the bargain. One wonders where webmail goes from here.

Why Does Everyone Keep Saying That Web Based Email Is on Its Way Out?

When the media latches on an idea, there's no stopping them. At some point in the past year, some bright IT reporter, perhaps inspired by what Mark Zuckerberg said at the Facebook conference announcing Facebook's messaging system about how young people these days found e-mail just too long-winded and cumbersome, began to report that e-mail was on its way out. The reports of course certainly had a few arguments that made sense (the reports wouldn't be in the news if they had no arguments to make). They were that e-mail, more and more, was viewed over a smart phone that just didn't have the room for advertising; if there was no advertising, why would Microsoft and Google want to keep spending money to support the free e-mail system? And then of course was the argument that the major web based e-mail services were reporting far fewer new sign-ups each year when compared to the previous ones. The truth though is that all of that was merely to sensationalize a few scraps of information that barely made a trend. The truth is that e-mail is firmly on top of the communications pyramid today, right alongside cell phone calling and messaging.
One of the most popular ways people have of running down e-mail today is to say that the social networks are now taking the place of e-mail as the primary way by which we communicate. That's hardly an accurate interpretation of what actually goes on. The social networks really are trying to usurp the place that web-based e-mail has traditionally taken for granted; but they only do it by trying to replace it with their own systems of e-mail that work within their networks. It isn't so much of technological change as it is a marketing change. Unified e-mail addressing might disappear, giving way to a system where e-mail needs to originate in and within closed systems; but e-mail it still would be. If you ignore the commercial goings-on that happen to carry the system, e-mail will continue to be e-mail, whatever form it is used in. No one is going to give up web-based e-mail to favor the social media any more than they are giving up telephones just because it's more than 100 years old. New technologies like these don't turn existing ones obsolete; they merely allow them to find a new place for themselves.
What kind of new place might web-based e-mail find for itself today? Consider the way people relate to the social media and instant messaging. These are communications tools that are always pulling at the sleeve of a person who's trying to work in an office environment. And that is hardly something that makes for easy productivity. If you are on Facebook and you keep getting pinged by someone who doesn't really matter, how much of a needless distraction is that? E-mail isn't something that constantly draws attention to itself; and that is a great productivity convenience.
And anyway, how exactly are businesses supposed to use social networking e-mail to communicate among themselves and with their customers? Are we supposed to all get on Facebook and actually cut down on our options? How could it be a good idea to hand over all of our communications to one company? That would be very anti-competitive.