Senin, 28 Mei 2012

Komite Sekolah dan Good Governance




oleh

Aris Ahmad Risadi



Bentuk desentralisasi yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan komite sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat (Ace Suryadi, 2003).

Perintisan upaya diatas telah dimulai sejak tahun 2002 dengan dukungan ketentuan formal seperti tertuang didalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Upaya desentralisasi dan otonomi di sektor pendidikan merupakan bagian integral dari upaya desentralisasi di sektor lain (baca otonomi daerah). Gerakan otonomi daerah dan desentralisasi ini merupakan bagian dari 3 isu strategis pembangunan yaitu Desentralisasi, Pemberdayaan Masyarakat dan Tata Pemerintahan yang Baik (good governance).

Dalam konteks pembangunan daerah desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan kepada PEMDA (Pemerintah Daerah) yang disertai dengan penguasaan sumber pembiayaan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tantangan yang dihadapi bagaimana PEMDA di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat lebih transparan, akuntabel dan partisipatif, termasuk dalam bidang pendidikan.

Komite Sekolah mempunyai peran dan fungi sebagai badan pertimbangan, perencana, pendukung tenaga, sarana dan prasarana, dan mediator di tingkat sekolah (ditingkat kabupaten/kota ada Dewan Pendidikan). Komite Sekolah sebagai wadah partisipasi masyarakat mulai diberi kesempatan untuk melaksanakan kegiatan dan monitoring dan evaluasi. Termasuk untuk menangani penyebarluasan informasi dan penanganan.

Upaya menempatkan Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat akan menghadapi batu sandungan yang sangat besar jika tidak didukung oleh perilaku birokrasi di daerah secara keseluruhan. Semangat desentralisasi pendidikan dengan menempatkan Komite Sekolah pada posisi strategis sebagai wadah pemberdayaan masyarakat harus seiring dengan upaya penciptaan tata pemerintahan yang baik (good governance).
Berkumpul bersama kawan-kawan satu regu di Ray Zakhir 621 Mekah, saat beribadah haji tahun 1430 H / 2009 M. Semoga bisa tetap istiqomah

Pemekaran Dipolitisasi, Pembangunan Daerah Tertinggal Terabaikan

Tak selamanya tujuan pemekaran wilayah di suatu daerah tertinggal berhasil. Persoalan politisasi pemekaran daerah oleh sekelompok orang untuk mendapatkan suatu kekuasaan, menjadi penghalang dalam mencapai tujuan tersebut. Masyarakat di wilayah yang dimekarkan tetap saja miskin dan tanpa adanya perubahan yang signifikan.

“Pemekaran daerah bukan untuk memajukan daerah tetapi untuk kepentingan politik, mendapatkan kekuasaan,” demikian komentar pengamat pembangunan daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zumroh dalam acara Chat After Lunch “Pengentasan Kemiskinan Daerah Tertinggal Indonesia”, di Jakarta, Selasa (9/3).

Masalah ini yang disayangkan Siti. Pemekaran, menurutnya, timbul karena ketidakpuasan daerah terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakat. Makanya, dia mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu mudah memberikan pemekaran terhadap suatu wilayah.

Berbeda halnya dengan La Ode Ida. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini menilai pemekaran tidak selalu salah. Persoalannya, kata dia, terletak pada anggaran yang tidak berpihak kepada pengembangan daerah. Modal yang ada di Jakarta yang pembangunannya cukup maju tidak bisa ditarik secara administratif ke daerah. “Pemekaran daerah tertinggal tidak mencapai tujuannya karena anggarannya yang engga bagus,” imbuhnya.

Lucky Korah, Ketua Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), mengamini pernyataan La Ode. Menurutnya, pemekaran tidak selalu negatif, ada hal-hal positif yang bisa didapatkan. Pada dasarnya, lanjut Lucky, sasaran pemekaran adalah pengelolahan sumber daya baik itu alam maupun manusianya menjadi lebih optimal. Pelayanan pun diharapkan semakin dekat dengan masyarakat yang dilayani.

Namun, tentu saja pemekaran harus diikuti dengan adanya evaluasi. Sebab, pemekaran sarat dengan politisasi guna mendapatkan kekuasaan. “Kalau dalam rangka menyejahterahkan masyarakat seperti pesan undang-undang, itu oke-oke saja, makanya perlu dikaji,” ujar Lucky. Selain itu, dalam melakukan kajian terhadap pemekaran daerah tertinggal, harus dilakukan se-objektif mungkin. Karena ada juga pihak-pihak yang memanfaatkan pemekaran untuk melakukan pungutan-pungutan liar.

Masih menurut Lucky, pada 2014, pemerintah menargetkan sedikitnya 50 kawasan di Indonesia lepas dari daerah tertinggal. Target ini masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2010. “Komitmennya ada. Hal ini terlihat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang anggarannya semakin meningkat untuk progran pembangunan daerah tertinggal.” Wilayah prioritas dalam pembangunan daerah tertinggal adalah kawasan Indonesia Timur yang masih tergolong miskin.

Pembangunan Infrastruktur
Upaya lain yang dapat memajukan perekonomian kawasan ekonomi tertinggal adalah memperbaiki infrastruktur. Menurut La Ode, dalam membangun infrasrtuktur pemerintah harus benar-benar memperhatikan, apakah pembangunan infrastruktur tersebut memang diperuntukkan untuk mensejahterahkan masyarakat.

Lucky juga berpendapat sama. Menurutnya, jika pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur di kawasan ekonomi tertinggal, maka masyarakat setempat harus diberdayakan dan dilibatkan. Sehingga masyarakat merasa memiliki investasi tersebut. Hal ini juga untuk menghindari terjadinya konflik-konflik antara penduduk setempat dengan investor.

Selain itu, pemerintah daerah berfungsi sebagai fasilitator untuk menjembatani antara investor dan masyarakat. Setiap tindakan yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat harus terlebih dahulu dibicarakan kepada masyarakat. “Oleh karena itu, dalam melakukan pembangunan tidak akan berdampak negatif bagi masyarakat. Masyarakat sekitar harus dilibatkan agar tidak hanya jadi penonton saja,” demikian Lucky.

Pemekaran Dipolitisasi, Pembangunan Daerah Tertinggal Terabaikan

Tak selamanya tujuan pemekaran wilayah di suatu daerah tertinggal berhasil. Persoalan politisasi pemekaran daerah oleh sekelompok orang untuk mendapatkan suatu kekuasaan, menjadi penghalang dalam mencapai tujuan tersebut. Masyarakat di wilayah yang dimekarkan tetap saja miskin dan tanpa adanya perubahan yang signifikan.

“Pemekaran daerah bukan untuk memajukan daerah tetapi untuk kepentingan politik, mendapatkan kekuasaan,” demikian komentar pengamat pembangunan daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zumroh dalam acara Chat After Lunch “Pengentasan Kemiskinan Daerah Tertinggal Indonesia”, di Jakarta, Selasa (9/3).

Masalah ini yang disayangkan Siti. Pemekaran, menurutnya, timbul karena ketidakpuasan daerah terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakat. Makanya, dia mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu mudah memberikan pemekaran terhadap suatu wilayah.

Berbeda halnya dengan La Ode Ida. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini menilai pemekaran tidak selalu salah. Persoalannya, kata dia, terletak pada anggaran yang tidak berpihak kepada pengembangan daerah. Modal yang ada di Jakarta yang pembangunannya cukup maju tidak bisa ditarik secara administratif ke daerah. “Pemekaran daerah tertinggal tidak mencapai tujuannya karena anggarannya yang engga bagus,” imbuhnya.

Lucky Korah, Ketua Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), mengamini pernyataan La Ode. Menurutnya, pemekaran tidak selalu negatif, ada hal-hal positif yang bisa didapatkan. Pada dasarnya, lanjut Lucky, sasaran pemekaran adalah pengelolahan sumber daya baik itu alam maupun manusianya menjadi lebih optimal. Pelayanan pun diharapkan semakin dekat dengan masyarakat yang dilayani.

Namun, tentu saja pemekaran harus diikuti dengan adanya evaluasi. Sebab, pemekaran sarat dengan politisasi guna mendapatkan kekuasaan. “Kalau dalam rangka menyejahterahkan masyarakat seperti pesan undang-undang, itu oke-oke saja, makanya perlu dikaji,” ujar Lucky. Selain itu, dalam melakukan kajian terhadap pemekaran daerah tertinggal, harus dilakukan se-objektif mungkin. Karena ada juga pihak-pihak yang memanfaatkan pemekaran untuk melakukan pungutan-pungutan liar.

Masih menurut Lucky, pada 2014, pemerintah menargetkan sedikitnya 50 kawasan di Indonesia lepas dari daerah tertinggal. Target ini masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2010. “Komitmennya ada. Hal ini terlihat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang anggarannya semakin meningkat untuk progran pembangunan daerah tertinggal.” Wilayah prioritas dalam pembangunan daerah tertinggal adalah kawasan Indonesia Timur yang masih tergolong miskin.

Pembangunan Infrastruktur
Upaya lain yang dapat memajukan perekonomian kawasan ekonomi tertinggal adalah memperbaiki infrastruktur. Menurut La Ode, dalam membangun infrasrtuktur pemerintah harus benar-benar memperhatikan, apakah pembangunan infrastruktur tersebut memang diperuntukkan untuk mensejahterahkan masyarakat.

Lucky juga berpendapat sama. Menurutnya, jika pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur di kawasan ekonomi tertinggal, maka masyarakat setempat harus diberdayakan dan dilibatkan. Sehingga masyarakat merasa memiliki investasi tersebut. Hal ini juga untuk menghindari terjadinya konflik-konflik antara penduduk setempat dengan investor.

Selain itu, pemerintah daerah berfungsi sebagai fasilitator untuk menjembatani antara investor dan masyarakat. Setiap tindakan yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat harus terlebih dahulu dibicarakan kepada masyarakat. “Oleh karena itu, dalam melakukan pembangunan tidak akan berdampak negatif bagi masyarakat. Masyarakat sekitar harus dilibatkan agar tidak hanya jadi penonton saja,” demikian Lucky.

Selasa, 01 Mei 2012

Nasehat Tak Terduga

Kehidupan di jalanan ibu kota tak selamanya berjalan mulus. Sesekali kita menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan. Disamping masalah kemacetan lalu-lintas, kita bisa saja menghadapi aksi pencopetan, penipuan, dan lain-lain. Salah satu modus penipuan yang sering terjadi di jalanan yaitu kita dimintai uang oleh orang yang pura-pura kehabisan ongkos pulang. Saya termasuk yang sering berhadapan dengan orang yang pura-pura kehabisan ongkos ini. Sebelum mengetahui modus ini, saya pernah memberikan uang kepada yang mengaku kehabisan ongkos ini. Uang yang diminta memang tidak besar, biasanya hanya sebesar ongkos angkutan umum. Namun demikian saking seringnya ketemu orang yang pura-pura kehabisan ongkos ini, terkadang terbersit rasa kesal. Bagaimana tidak kesal, kadang-kadang orang yang sama bisa bertemu lebih dari satu kali dalam satu hari. Di suatu hari, saya dihampiri seorang ibu dan meminta uang untuk ongkos pulang. Saya sudah hapal betul dengan ibu tersebut dan modusnya. Pada waktu itu terbersit dalam hati ingin memberikan nasehat kepada ibu tersebut. Setelah memberikan uang sebesar ongkos angkutan yang diminta (Rp. 2.000), saya sedikit memberikan nasehat, "Ibu...jangan dibiasakan berbohong". Tak disangka, saya dapat serangan balik. Saya mendapat nasehat dari ibu tersebut dengan nada keras, "Eh... Bapak... ngasih uang cuma dua ribu, banyak omong lagi." Deg... hati tertegun. Kaget. Sambil ngeloyor meninggalkan ibu tersebut, saya merenung sejenak dan melakukan introspeksi, "betul juga ibu itu." Pesan ibu tersebut sangat mengena. Dan ini mengingatkan saya pada firman Allah seperti tertuang dalam QS. Al-Baqarah : 262-263 yang artinya "Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan si penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi Maha Penyantun." "Maafkan saya bu, terima kasih atas tegurannya." Peristiwa tersebut tak akan pernah terlupakan. Aris Ahmad Risadi, Gunung Putri-Bogor

Sabtu, 17 Maret 2012

Gramedia Perlu Hati-hati


Pada Jum'at 16 Maret 2012 jam 15.00 saya mengunjungi stand Kompas Gramedia pada Islamic Book Fair di Ruang Utama Istora, Senayan Jakarta. Setelah melihat berbagai buku yang dipamerkan, saya memutuskan membeli 2 (dua) buku, salah satunya buku yang berjudul "Jalan-jalan L.O.M.B.O.K, Enaknya ke Mana ?" dengan harga yang tertera di label +/- Rp 39.800 (belum diskon). Saya membayarnya di kasir.

Dalam suasana hiruk pikuk (karena ribuan pengunjung), kasir (perempuan inisial "L") meminta saya membayar Rp. 108.000 untuk 2 (dua) buku yang saya beli. Saya bertanya, kenapa ? Tanpa banyak tanya, setelah penjaga yang lainnya (laki-laki) menunjukkan nota penjualan: untuk buku yang pertama Rp. 56.000 (setelah diskon 20 %), dan buku kedua ("Jalan-jalan Lombok") Rp. 52.000. Total Rp. 108.000. Saya tidak mencermati lagi 2 (dua) nota penjualan, karena sudah sore dan rumah di Bogor saya putuskan untuk segera meninggalkan pameran.

Setibanya di rumah saya kaget. Ternyata Nota Penjualan yang bernilai Rp. 52.000, bukan harga yang harus saya bayar untuk buku "Jalan-jalan L.O.M.B.O.K, Enaknya ke Mana ?", melainkan untuk buku yang berjudul "Dua Tangis dan Ribuan Tawa" (yang tidak saya beli).

Dengan kredibilitas Kompas Gramedia selama ini, saya yakin ini bukan tindakan sengaja untuk membohongi konsumen. Ini hanya kecerobohan penjaga stand. Dari sisi nilai mungkin saya hanya dirugikan Rp 12.200 (Rp 52.000 - Rp. 39.800). Tapi bagaimana jika kecerobohan ini menimpa banyak orang di pameran ini ? Dan... siapa yang tahu bahwa ini 100 % bukan tindakan nakal untuk mencurangi konsumen ? Ini tugas Kompas Gramedia sendiri untuk menyelidikinya.

Saya tidak menuntut apa-apa kepada Kompas Gramedia atas kecerobohan ini. Saya hanya minta klarifikasi dan pembenahan ke dalam untuk tidak adanya kerugian konsumen di masa yang akan datang. Atas perhatiannya diucapkan terima kasih.

Aris Ahmad Risadi, Gunung Putri - Bogor.

Rabu, 15 Februari 2012

Jalan Ku


Dari masa lalu aku sedikit tahu,
itupun banyak yang sudah terlupa

Masa depan tak ada yang ku tahu
Hanya terselip sedikit asa dan do'a

Hari ini...
Satu-satunya yang kini ada
Ku jalani
Dalam balutan syukur dan ikhlas.

Gunung Putri-Bogor, 15 Februari 2012

Jumat, 06 Januari 2012

Tahun Duka Cita (‘Aamul Huzni) pada Sejarah Nabi Muhammad



Aris Ahmad Risadi

Adakah tahun terberat dalam kehidupan pribadi Nabi Muhammad saw. sebagai seorang manusia biasa? Walaupun beliau adalah Nabi kekasih Allah swt, seseorang yang berjuluk al-Amin (yang bisa dipercaya) dan termasuk Ulul ‘Azmi (Nabi yang gigih berjuang di dalam da’wahnya), Rosulullah saw. adalah lelaki yang suatu ketika pernah ditimpa musibah berat dalam “masalah keluarga”, yang berpengaruh juga pada konstelasi da’wah pada dekade pertama da’wah Islam. Itulah periode siroh nabawiyyah yang disebut ‘Aamul Huzni (tahun duka cita).

Mengapa dinamai tahun duka cita? Karena dalam satu tahun itu, yakni pada tahun ke-10 masa kenabian, Rosulullah saw. banyak mengalami kesedihan-kesedihan yang bersifat “manusiawi”. Setidaknya ada 5 peristiwa pahit yang mempengaruhi kejiwaan Nabi Muhammad saw.

1. Tahun terjadinya klimaks dari tiga tahun pemboikotan para pemeluk Islam di perkampungan Abu Thalib. Paceklik panjang terjadi hampir 40 bulan sejak awal Muharram tahun ke-7 Nubuwwah hingga Muharram tahun ke-10 Nubuwwah. Seluruh kaum muslimin terutama dari Bani Hasyim (keluarga Ibunda Nabi saw.) dan Bani Muththalib (keluarga Ayah Nabi saw) diboikot oleh seluruh masyarakat Makkah. Boikot terjadi karena kaum Quraisy khawatir terhadap semakin banyaknya penduduk yang beralih keyakinan menjadi Islam. Mereka kehabisan logistik makanan dan air, ternak menjadi kurus dan mati, anak-anak dan kaum ibu merintih kelaparan setiap hari. Mereka hanya memakan dedaunan dan kulit binatang. Bahkan alas kaki pun dimakan untuk mengganjal perut. Semua itu dijalani selama 3 tahun dengan penuh keprihatinan dan kesabaran, hingga Allah swt berkenan merusak Piagam Boikot yang digantung di tembok Ka’bah melalui perantaraan rayap, sebagaimana diabadikan dalam QS.Al Qamar: 2 (HR.Bukhari).

2. Meninggalnya paman Rosulullah saw., yakni Abu Thalib. Setelah ikut mengalami 3 tahun pemboikotan yang membuat tubuhnya kurus dan penyakit tulang yang berat, paman pembela da’wah yang tak kunjung mendapatkan hidayah ini, akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab dalam usia lebih dari 80 tahun. Ia menderita sakit keras selama 6 bulan. Padahal Abu Thalib adalah sesepuh Mekkah yang sangat disegani oleh kaum Quraisy. Dialah satu-satunya alasan mengapa kafir Quraisy setengah hati mengganggu Rosulullah saw. Rosulullah saw. ingin sekali memintakan ampunan Allah swt. untuk paman tersayang atas kebaikannya selama 10 tahun membela da’wah dan melindungi Nabi. Tetapi kemudian turun penolakan Allah swt. pada QS.At-Taubah:113 dan QS.Al Qashash:56, (orang beriman tidak boleh memintakan ampunan untuk orang-orang kafir). Rosulullah saw. sedih karena belahan hatinya berpulang, sedih karena kerabat terdekat tak mau menerima hidayah sampai ajal menjemput, dan sedih karena takdir pamannya harus berakhir di neraka (dalam suatu hadits, diriwayatkan bahwa Abu Thalib akan diletakkan di neraka yang paling dangkal sebatas tumit kaki).

3. Meninggalnya sang istri tercinta: Khadijah binti Khuwailid ra. Sekitar 3 bulan setelah wafatnya sang paman, Allah swt kembali menguji perasaan kekasih-Nya itu dengan mengambil nyawa istri Rosulullah saw., Khadijah binti Khuwailid ra. Kemungkinan juga disebabkan karena kesehatannya memburuk setelah mengalami boikot fisik selama 3 tahun. Ummul Mu’minin berpulang pada bulan Ramadhan tahun ke-10 Nubuwwah, dalam usia 65 tahun, sedangkan Nabi Muhammad saw. ketika itu berumur 50 tahun. Memiliki istri semulia Khadijah ra. adalah salah satu anugerah terindah dalam kehidupan Rosulullah saw. Dialah wanita teristimewa yang sangat dicintai Nabi saw, dia telah mendampingi Nabi selama seperempat abad tanpa mengeluh, menghapus resah dan kekhawatiran sang suami di saat-saat kritis di tengah intimidasi kaum kafir Quraisy, menopang finansial da’wah dengan kapasitas bisnisnya, sabar mendampingi Nabi di kala jihad yang berat, membelanya dengan kemuliaan nasab, dll. Beginilah Rosulullah saw. memaparkan orbituari sang istri: “Dia beriman kepadaku saat semua orang mengingkariku, membenarkan aku selagi semua orang mendustakanku, menyerahkan hartanya kepadaku selagi semua orang tidak mau memberikannya, Allah menganugerahiku anak darinya selagi wanita selainnya tidak memberikannya kepadaku.” (HR.Ahmad).

4. Intimidasi semakin Menjadi-jadi pasca Wafatnya Kerabat Nabi. Meninggalnya paman dan istri Rosulullah saw, membuat orang-orang musyrik dan kafir Makkah semakin berani melawan para pengikut Islam, terutama rencana membunuh Nabi. Mereka melempari Rosulullah dengan debu, kotoran hewan, dan menabur duri di sepanjang jalan yang dilalui Nabi. Mereka juga bermaksud mengusir semua orang Islam dari Makkah, karena tidak ada lagi Abu Thalib dan Khadijah yang selama ini mereka segani.

5. Penolakan Da’wah oleh penduduk Tha’if Sebulan setelah wafat sang istri, Rosulullah saw. berjalan keluar kota Makkah hanya bersama anak angkatnya, Zaid bin Haritsah, dengan harapan mungkin orang diluar sana bisa lebih menerima kebenaran yang akan disampaikan. Beliau berjalan kaki pulang-pergi menuju Tha’if, sekitar 60 mil dari Makkah. Anehnya, tidak ada kaum yang ditemuinya di sepanjang perjalanan hingga kembali lagi menuju Makkah, yang mereka mau menerima da’wah Nabi. Penduduk Tha’if malah mencibir, mengolok-olok, dan melempari Nabi saw. dengan batu. Inilah saat-saat yang lebih berat dari kekalahan Perang Uhud (HR.Bukhari).

Beberapa Ibrah

Perhatikanlah, apa sebenarnya hikmah dan rahasia Allah dalam mempercepat kematian Abu Thalib, sebelum terbentuknya kekuatan dan masih sedikitnya pertahanan kaum Muslimin di Mekkah? Padahal seperti telah diketahui, Abu Thalib banyak memberikan pembelaan kepada Rasulullah saw . Demikian pula, apa hikmah dan rahasia Allah dalam mempercepat kematian Khadijah r.a.? Padahal Rasulullah saw masih sangat memerlukan orang yang selalu menghibur dan membesarkan hatinya, atau meringankan beban-beban penderitaannya ? Di sini nampak suatu fenomena penting yang berkaitan dengan prinsip aqidah Islam.

Seandainya Abu Thalib berusia panjang mendampingi dan membela Rasulullah saw sampai tegakknya negara Islam di Madinah, dan selama itu Rasulullah saw dapat terhindar dari gangguan kaum musyrik, niscaya akan timbul kesan bahwa Abu Thalib adalah tokoh utama yang berada di balik layar dakwah ini. Dialah yang dengan kedudukannya dan pengaruhnya, seolah-olah memperjuangkan dan melindungi dakwah Islam, kendatipun tidak menampakkan keimanan dan keterikatannya kepada dakwah Islam. Atau tentu muncul analisa panjang lebar yang menjelaskan "nasib baik“ yang diperoleh Rasulullah saw pada saat melaksanakan dakwahnya lantaran pembelaan pamannya. Sementara nasib baik ini tidak diperoleh kaum Muslimin yang ada di sekitarnya. Seolah-olah, ketika semua orang disiksa dan dianiaya, hanya beliaulah yang terbebas dan terhindar.

Sudah menjadi ketentuan Ilahi bahwa Rasulullah saw harus kehilangan orang yang secara lahiriah melindungi dan mendampinginya. Abu Thalib dan Khadijah. Ini antara lain untuk menampakkan dua hakekat penting.

Pertama, sesungguhnya perlindungan itu, pertolongan dan kemenangan itu hanya datang dari Allah swt. Allah telah berjanji untuk melindungi Rasul-Nya dari kaum musyrik dan musuh-musuhnya. Karena itu, dengan atau tanpa pembelaan manusia, Rasulullah saw tetap akan dijaga dan dilindungi oleh Allah, dan bahwa dakwahnya pada akhirnya akan mencapai kemenangan.

Kedua, ‘ishmah (perlindungan dan penjagaan) di sini tidak berarti terhindar dari gangguan, penyiksaan atau penindasan. Tetapi arti ‘ishmah (perlindungan) yang dijanjikan Allah dalam firman-Nya : "Allah melindungi dari (ganggungan) manusia.“ QS Al-Ma’idah : 67, Ialah perlindungan dari pembunuhan atau dari segala bentuk rintangan dan perlawanan yang dapat menghentikan dakwah Islam. Ketetapan Ilahi bahwa para Nabi dan Rasul-Nya harus merasakan aneka ragam gangguan dan penyiksaan tidak bertentangan dengan prinsip ‘ishmah yang dijanjikan oleh Allah kepada mereka.

Oleh sebab itu setelah ayat :

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu), dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. Sesungguhnya Kami memelihara kamu dari (kejahatan) orang-orang yang memperolok-olok kamu.“ QS al-Hijr: 94-95

Allah berfirman kepada Rasulullah saw :

"Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabb-mu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Rabb-mu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).“ QS Al-Hijr : 97-99.

Adalah termasuk Sunnatullah dan hikmah Ilahiyah yang sangat besar artinya bahwa Rasulullah saw harus mengalami dan menghadapi berbagai cobaan berat di jalan dakwah. Sebab dengan demikian para da’i pada setiap jaman akan menganggap ringan segala bentuk cobaan berat yang ditemuinya di jalan dakwah.

Seandainya Nabi saw berhasil dalam dakwahnya tanpa penderitaan atau perjuangan berat, niscaya para sahabatnya dan kaum Muslimin sesudahnya ingin berdakwah dengan santai, sebagaimana yang dilakukan oleh beliau dan merasa berat menghadapi penderitaan dan ujian yang mereka temui di jalan dakwah.

Tetapi, dengan melihat penderitaan yang dialami Rasulullah saw akan terasa ringanlah segala beban penderitaan yang harus dihadapi oleh kaum Muslimin di jalan dakwah. Karena dengan demikian mereka sedang merasakan apa yang pernah dirasakan oleh Rasulullah saw dan berjalan di jalan yang perlah dilewati oleh beliau.

Betapapun penghinaan dan penyiksaan yang dilancarkan manusia kepada mereka, tak akan pernah melemahkan semangat perjuangannya. Bukankah Rasulullah saw sendiri, sebagai kekasih Allah pernah dianiaya dan dilempari kotoran pada kepalanya sehingga terpaksa harus pulang ke rumah dengan kepala kotor ? Apalagi jika dibandingkan dengan penderitaan dan penyiksaan yang pernah ditemui Rasulullah saw ketika berhijrah di Thaif.

Hal lain yang berkaitan dengan bagian Sirah Rasulullah saw ini ialah, munculnya anggapan dari sementara pihak bahwa Rasulullah saw menamakan tahun ini sebagai tahun duka cita semata-mata karena kehilangan pamannya, Abu Thalib dan istrinya, Khadija binti Khuwailid. Dengan dalih ini, mungkin mereka lalu mengadakan acara berkabung atas kematian seseorang selama beberapa hari dengan memasang bendera berkabung dan lain sebagainya.

Sebenarnya pemahaman dan penilaian ini keliru. Sebab Nabi saw tidak bersedih hati sedemikian rupa atas meninggalnya paman dan istrinyanya. Rasulullah saw juga tidak menyebut tahun ini dengan tahun duka cita, semata-mata karena kehilangan sebagian keluarganya. Tetapi karena bayangan akan tertutupnya hampir seluruh pintu dakwah Islam setelah kematian kedua orang ini. Sebagaimana kita ketahui, pembelaan Abu Thalib kepada Rasulullah saw banyak memberikan peluang dan jalan untuk menyampaikan dakwah dan bimbingan. Bahkan Rasulullah saw sendiri telah melihat sebagian keberhasilannya dalam membantu melaksanakan tugas dakwahnya.

Tetapi setelah kematian Abu Thalib peluang-peluang itu menjadi tertutup. Setiap kali mencoba untuk menerobos selalu saja mendapatkan rintangan dan permusuhan. Kemana saja beliau pergi, jalan selalu tertutup baginya. Tak seorangpun yang mendengarkan dan meyakini dakwahnya. Bahkan semua orang mencemoohkan dan memusuhinya. Sehingga hal ini menimbulkan rasa sedih yang mendalam di hati Rasulullah saw, karena itulah kemudian tahun ini dinamkan tahun duka cita.

Bahkan kesedihan karena keberpalingan manusia dari kebenaran yang dibawanya ini telah sedemikian rupa mempengaruhi dirinya, sehingga unutk mengurangi kesedihan ini Allah menurunkan beberapa ayat yang menghibur dan mengingatkannya, bahwa ia hanya dibebani tugas untuk menyampaikan, tidak perlu menyesali diri sedemikian rupa, jika mereka tidak mau beriman dan menyambut seruannya.
Perhatikan ayat-ayat berikut ini :

"Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang dzalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka. Tak ada seorangpun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita Rasul-rasul itu. Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika kamu dapat membuat lubang di bumi atau tangga di langit lalu kamu daapt mendatangkan mu’jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang jahil.“ QS Al-An’am : 33-35.

Gunung Putri, Bogor - 13 Syafar 1433 H/7 Januari 2012

Sumber Bacaan :
• Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal;
• Republika online;
• Darmi AR , www.darmi_ar.blogspot.com;
• Hanin Salma Fayruz (http://id.shvoong.com/humanities/religion-studies/2111411-aamul-huzni-tahun-duka-cita/#ixzz1id7Tdkxp);
• Sirah Nabawiyah oleh Dr. Muhammad Sa`id Ramadhan Al Buthy, alih bahasa (penerjemah): Aunur Rafiq Shaleh, terbitan Robbani Press] (http://daffodilmuslimah.multiply.com);
• http://borntobeamujahid.blogspot.com/2009/04/tahun-duka-cita-dan-peranan-istri.html.