Senin, 28 Mei 2012

Komite Sekolah dan Good Governance




oleh

Aris Ahmad Risadi



Bentuk desentralisasi yang paling mendasar adalah yang dilaksanakan oleh sekolah, dengan menggunakan komite sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat dan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat (Ace Suryadi, 2003).

Perintisan upaya diatas telah dimulai sejak tahun 2002 dengan dukungan ketentuan formal seperti tertuang didalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Upaya desentralisasi dan otonomi di sektor pendidikan merupakan bagian integral dari upaya desentralisasi di sektor lain (baca otonomi daerah). Gerakan otonomi daerah dan desentralisasi ini merupakan bagian dari 3 isu strategis pembangunan yaitu Desentralisasi, Pemberdayaan Masyarakat dan Tata Pemerintahan yang Baik (good governance).

Dalam konteks pembangunan daerah desentralisasi merupakan pelimpahan kewenangan kepada PEMDA (Pemerintah Daerah) yang disertai dengan penguasaan sumber pembiayaan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Tantangan yang dihadapi bagaimana PEMDA di dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat lebih transparan, akuntabel dan partisipatif, termasuk dalam bidang pendidikan.

Komite Sekolah mempunyai peran dan fungi sebagai badan pertimbangan, perencana, pendukung tenaga, sarana dan prasarana, dan mediator di tingkat sekolah (ditingkat kabupaten/kota ada Dewan Pendidikan). Komite Sekolah sebagai wadah partisipasi masyarakat mulai diberi kesempatan untuk melaksanakan kegiatan dan monitoring dan evaluasi. Termasuk untuk menangani penyebarluasan informasi dan penanganan.

Upaya menempatkan Komite Sekolah sebagai wadah pemberdayaan peran serta masyarakat sebagai proses pelaksanaan layanan pendidikan secara nyata di dalam masyarakat akan menghadapi batu sandungan yang sangat besar jika tidak didukung oleh perilaku birokrasi di daerah secara keseluruhan. Semangat desentralisasi pendidikan dengan menempatkan Komite Sekolah pada posisi strategis sebagai wadah pemberdayaan masyarakat harus seiring dengan upaya penciptaan tata pemerintahan yang baik (good governance).
Berkumpul bersama kawan-kawan satu regu di Ray Zakhir 621 Mekah, saat beribadah haji tahun 1430 H / 2009 M. Semoga bisa tetap istiqomah

Pemekaran Dipolitisasi, Pembangunan Daerah Tertinggal Terabaikan

Tak selamanya tujuan pemekaran wilayah di suatu daerah tertinggal berhasil. Persoalan politisasi pemekaran daerah oleh sekelompok orang untuk mendapatkan suatu kekuasaan, menjadi penghalang dalam mencapai tujuan tersebut. Masyarakat di wilayah yang dimekarkan tetap saja miskin dan tanpa adanya perubahan yang signifikan.

“Pemekaran daerah bukan untuk memajukan daerah tetapi untuk kepentingan politik, mendapatkan kekuasaan,” demikian komentar pengamat pembangunan daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zumroh dalam acara Chat After Lunch “Pengentasan Kemiskinan Daerah Tertinggal Indonesia”, di Jakarta, Selasa (9/3).

Masalah ini yang disayangkan Siti. Pemekaran, menurutnya, timbul karena ketidakpuasan daerah terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakat. Makanya, dia mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu mudah memberikan pemekaran terhadap suatu wilayah.

Berbeda halnya dengan La Ode Ida. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini menilai pemekaran tidak selalu salah. Persoalannya, kata dia, terletak pada anggaran yang tidak berpihak kepada pengembangan daerah. Modal yang ada di Jakarta yang pembangunannya cukup maju tidak bisa ditarik secara administratif ke daerah. “Pemekaran daerah tertinggal tidak mencapai tujuannya karena anggarannya yang engga bagus,” imbuhnya.

Lucky Korah, Ketua Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), mengamini pernyataan La Ode. Menurutnya, pemekaran tidak selalu negatif, ada hal-hal positif yang bisa didapatkan. Pada dasarnya, lanjut Lucky, sasaran pemekaran adalah pengelolahan sumber daya baik itu alam maupun manusianya menjadi lebih optimal. Pelayanan pun diharapkan semakin dekat dengan masyarakat yang dilayani.

Namun, tentu saja pemekaran harus diikuti dengan adanya evaluasi. Sebab, pemekaran sarat dengan politisasi guna mendapatkan kekuasaan. “Kalau dalam rangka menyejahterahkan masyarakat seperti pesan undang-undang, itu oke-oke saja, makanya perlu dikaji,” ujar Lucky. Selain itu, dalam melakukan kajian terhadap pemekaran daerah tertinggal, harus dilakukan se-objektif mungkin. Karena ada juga pihak-pihak yang memanfaatkan pemekaran untuk melakukan pungutan-pungutan liar.

Masih menurut Lucky, pada 2014, pemerintah menargetkan sedikitnya 50 kawasan di Indonesia lepas dari daerah tertinggal. Target ini masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2010. “Komitmennya ada. Hal ini terlihat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang anggarannya semakin meningkat untuk progran pembangunan daerah tertinggal.” Wilayah prioritas dalam pembangunan daerah tertinggal adalah kawasan Indonesia Timur yang masih tergolong miskin.

Pembangunan Infrastruktur
Upaya lain yang dapat memajukan perekonomian kawasan ekonomi tertinggal adalah memperbaiki infrastruktur. Menurut La Ode, dalam membangun infrasrtuktur pemerintah harus benar-benar memperhatikan, apakah pembangunan infrastruktur tersebut memang diperuntukkan untuk mensejahterahkan masyarakat.

Lucky juga berpendapat sama. Menurutnya, jika pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur di kawasan ekonomi tertinggal, maka masyarakat setempat harus diberdayakan dan dilibatkan. Sehingga masyarakat merasa memiliki investasi tersebut. Hal ini juga untuk menghindari terjadinya konflik-konflik antara penduduk setempat dengan investor.

Selain itu, pemerintah daerah berfungsi sebagai fasilitator untuk menjembatani antara investor dan masyarakat. Setiap tindakan yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat harus terlebih dahulu dibicarakan kepada masyarakat. “Oleh karena itu, dalam melakukan pembangunan tidak akan berdampak negatif bagi masyarakat. Masyarakat sekitar harus dilibatkan agar tidak hanya jadi penonton saja,” demikian Lucky.

Pemekaran Dipolitisasi, Pembangunan Daerah Tertinggal Terabaikan

Tak selamanya tujuan pemekaran wilayah di suatu daerah tertinggal berhasil. Persoalan politisasi pemekaran daerah oleh sekelompok orang untuk mendapatkan suatu kekuasaan, menjadi penghalang dalam mencapai tujuan tersebut. Masyarakat di wilayah yang dimekarkan tetap saja miskin dan tanpa adanya perubahan yang signifikan.

“Pemekaran daerah bukan untuk memajukan daerah tetapi untuk kepentingan politik, mendapatkan kekuasaan,” demikian komentar pengamat pembangunan daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zumroh dalam acara Chat After Lunch “Pengentasan Kemiskinan Daerah Tertinggal Indonesia”, di Jakarta, Selasa (9/3).

Masalah ini yang disayangkan Siti. Pemekaran, menurutnya, timbul karena ketidakpuasan daerah terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakat. Makanya, dia mengingatkan pemerintah agar tidak terlalu mudah memberikan pemekaran terhadap suatu wilayah.

Berbeda halnya dengan La Ode Ida. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ini menilai pemekaran tidak selalu salah. Persoalannya, kata dia, terletak pada anggaran yang tidak berpihak kepada pengembangan daerah. Modal yang ada di Jakarta yang pembangunannya cukup maju tidak bisa ditarik secara administratif ke daerah. “Pemekaran daerah tertinggal tidak mencapai tujuannya karena anggarannya yang engga bagus,” imbuhnya.

Lucky Korah, Ketua Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), mengamini pernyataan La Ode. Menurutnya, pemekaran tidak selalu negatif, ada hal-hal positif yang bisa didapatkan. Pada dasarnya, lanjut Lucky, sasaran pemekaran adalah pengelolahan sumber daya baik itu alam maupun manusianya menjadi lebih optimal. Pelayanan pun diharapkan semakin dekat dengan masyarakat yang dilayani.

Namun, tentu saja pemekaran harus diikuti dengan adanya evaluasi. Sebab, pemekaran sarat dengan politisasi guna mendapatkan kekuasaan. “Kalau dalam rangka menyejahterahkan masyarakat seperti pesan undang-undang, itu oke-oke saja, makanya perlu dikaji,” ujar Lucky. Selain itu, dalam melakukan kajian terhadap pemekaran daerah tertinggal, harus dilakukan se-objektif mungkin. Karena ada juga pihak-pihak yang memanfaatkan pemekaran untuk melakukan pungutan-pungutan liar.

Masih menurut Lucky, pada 2014, pemerintah menargetkan sedikitnya 50 kawasan di Indonesia lepas dari daerah tertinggal. Target ini masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2010. “Komitmennya ada. Hal ini terlihat di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang anggarannya semakin meningkat untuk progran pembangunan daerah tertinggal.” Wilayah prioritas dalam pembangunan daerah tertinggal adalah kawasan Indonesia Timur yang masih tergolong miskin.

Pembangunan Infrastruktur
Upaya lain yang dapat memajukan perekonomian kawasan ekonomi tertinggal adalah memperbaiki infrastruktur. Menurut La Ode, dalam membangun infrasrtuktur pemerintah harus benar-benar memperhatikan, apakah pembangunan infrastruktur tersebut memang diperuntukkan untuk mensejahterahkan masyarakat.

Lucky juga berpendapat sama. Menurutnya, jika pemerintah melakukan pembangunan infrastruktur di kawasan ekonomi tertinggal, maka masyarakat setempat harus diberdayakan dan dilibatkan. Sehingga masyarakat merasa memiliki investasi tersebut. Hal ini juga untuk menghindari terjadinya konflik-konflik antara penduduk setempat dengan investor.

Selain itu, pemerintah daerah berfungsi sebagai fasilitator untuk menjembatani antara investor dan masyarakat. Setiap tindakan yang memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat harus terlebih dahulu dibicarakan kepada masyarakat. “Oleh karena itu, dalam melakukan pembangunan tidak akan berdampak negatif bagi masyarakat. Masyarakat sekitar harus dilibatkan agar tidak hanya jadi penonton saja,” demikian Lucky.