Rabu, 01 Juni 2011

Kehidupan Penghantar Kematian


Perjuangan menuju kehidupan dapat berarti gerak mendekati kematian.

Seorang prajurit bermaksud mengantar surat pindah ke Semarang agar dekat dengan keluarga, ternyata menghantarkannya kepada kematian; karena tanpa dinyana, ketika duduk di gerbong belakang, Kereta Api yang ditumpanginya dihantam Kereta Api lain.

Basuki Sang Pelawak atau Bung Ajie Mas Said bermain Futsal biar segar bugar, ternyata futsal itulah yang menjadi syariat kematiannya.

Mbah Marijan, komit terhadap titah Sulan HB IX sebagai bentuk eksistensi hidupnya, ternyata beresiko kematian. Gunung Merapi mengamuk, Mbah Marijan tidak mau turun gunung. Akhirnya disapu awan panas, wedus gembel Gunung Merapi yang di-“jaga”-nya.

Sahabat, kerasnya upaya mencari kehidupan harus menjadi sarana kita dalam menggapai kematian yang khusnul khotimah. Kematian datang, kematian mendekat, ketika kita mencari kehidupan. Kematian, pintu gerbang kehidupan abadi.

Gunung Putri - Bogor, 1 Juni 2011

Saatnya Membangun Desa


Hidup di desa dengan masyarakatnya yang ramah serta kondisi lingkungan alam yang hijau menjadi harapan sebagian orang. Tidak heran jika ketika menghadapi masa pensiun atau menghadapi kegalauan karena kejamnya kehidupan perkotaan, banyak orang akhirnya ingin kembali ke desa. Tapi, ini tampaknya hanya ilusi.

Banyak masalah di perdesaan saat ini yang membutuhkah perhatian serius. Ketika arus balik lebaran, banyak wajah-wajah baru muncul di perkotaan. Masyarakat perdesaan berspekulasi, mengadu nasib di perkotaan, karena kehidupan di perdesaan dirasakan tidak lagi menyenangkan. Terutama karena sempitnya lapangan pekerjaan, dan karena sektor ekonomi perdesaan tidak lagi menjanjikan masa depan.

Dari data-data makro kita bisa tahu, betapa saat ini sedang ada permasalahan di perdesaan. Nilai PDRB/Tenaga Kerja sektor ekonomi perdesaan (pertanian) merupakan yang paling rendah (hanya Rp. 6,89 juta). Sementara sektor ekonomi perkotaan (jasa, keuangan, industri, dan lain-lain) bisa mencapai Rp. 15,09 juta s.d. Rp. 140,67 juta (BPS, 2009). Berdasarkan Data Potensi Desa (2006) hampir 45,2 persen dari 69.957 desa di Indonesia dinyatakan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal sebagai desa tertinggal. Dan menurut Badan Pusat Statistik (2009), 63 persen dari 32,53 juta penduduk miskin ada di perdesaan.

Hal ini menunjukkan masyarakat desa belum merasakan kesejahteraan sebagai buah kemerdekaan. Padahal Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, secara tegas mengatakan, “…untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia…..”.

Maka ketika membiarkan masyarakat desa tidak sejahtera, berarti telah melanggar konstitusi, dan hutang budi para Pejuang Kemerdekaan kepada masyarakat desa belum juga terbayarkan. Karena para Pejuang merebut kemerdekaan bangsa ini dilakukan secara bergerilya melawan Belanda dengan berpangkal pada desa-desa.

Satu tahun Kabinet Indonesia Bersatu II seharusnya menjadi momentum untuk kembali kepada komitmen membangun masyarakat desa. Perlu disadari bahwa sesungguhnya desa adalah inti Negara Indonesia merdeka. Menurut RPJM Nasional (2010-2014), cakupan kawasan perdesaan sekitar 82 persen wilayah Indonesia, dan ada sekitar 131,8 juta jiwa (56,86 persen) penduduk Indonesia bertempat tinggal dan menggantungkan hidupnya di perdesaan (2009). Sejarah telah membuktikan bahwa kekuatan terbesar yang memiliki daya tangkal paling handal untuk menghadapi berbagai hambatan, tantangan, dan ancaman adalah rakyat yang sebagian besar tinggal di perdesaan. Oleh sebab itu, ketahanan nasional Indonesia sangat dipengaruhi oleh ketahanan masyarakat desa.

Ada tujuh permasalahan yang menyebabkan keterpurukan desa (Kolopaking, 2007) yang perlu mendapat perhatian. Pertama, masyarakat dan desa kini masih menghadapi penurunan mutu ketersediaan infrastruktur dasar, baik fisik maupun infrastruktur sosial ekonomi untuk keluar dari ketidakberdayaan ekonomi. Kedua, ketimpangan kepemilikan lahan produktif. Ketiga, masyarakat miskin di perdesaan sangat rentan terhadap berbagai penyakit dan gizi buruk. Keempat, kapasitas kolektif masyarakat desa terus menurun dalam merespon tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada di desa. Masyarakat desa cenderung tidak berminat menemukenali dan mengelola potensi sumber daya yang ada di desa secara kreatif dan produktif untuk kemakmuran bersama. Kelima, pemerintah daerah masih belum optimal memfasilitasi keterlibatan Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa dan partisipasi masyarakat secara seimbang. Keenam, persoalan kerusakan lingkungan dan degradasi sumber daya alam yang diakibatkan oleh salah kelola sumber daya alam dan lingkungan. Ketujuh, pendekatan pembangunan birokratik dan sentralistrik selama ini telah membuat masyarakat desa menjadi sangat tergantung pada pihak luar, dan melemahkan desa sebagai sistem komunitarian yang otonom. Dalam beberapa kasus tertentu memporakporandakan kelembagaan sosial desa yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan, tetapi tidak berhasil mewujudkan kelembagaan baru sebagai tata-kelola pembangunan yang handal dalam menyelesaikan masalah di desa.

Upaya pemerintah dalam membangun perdesaan sebetulnya telah banyak dilakukan. Anggaran pembangunan perdesaan atau penanggulangan kemiskinan terus meningkat. Pemerintah telah memiliki banyak program yang berorientasi pada pembangunan masyarakat desa yang dikemas kedalam PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri. PNPM Mandiri saat ini menjadi program inti pemerintah dalam bidang pemberdayaan masyarakat, didalamnya memuat program-program yang dikelola oleh beberapa kementerian, yaitu: Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Pengembangan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Wilayah (PISEW), Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP).

Program di atas pada dasarnya baik. Hanya saja manfaat yang dirasakan belum terlalu signifikan. Program masih berjalan sendiri-sendiri, bersifat sektoral dan dalam pelaksanaannya masih belum sinergis satu sama lainnya. Akibatnya terjadi tumpang tindih program/kegiatan, baik sasaran maupun lokasi. Hal ini menyebabkan terjadinya in-efisiensi penggunaan anggaran, dan tujuan dan sasaran program tidak tercapai dengan baik. Dalam periode 2004-2008, jumlah anggaran untuk penanggulangan kemiskinan meningkat secara tajam, namun penurunan angka kemiskinan tidak sebanding. Menurut penilaian Kolopaking (2005) upaya mengejar ketertinggalan perdesaan melalui pemberdayaan untuk mencapai peningkatan kemakmuran jalan ditempat dan seolah-olah tidak menjanjikan. Tampaknya diperlukan langkah baru untuk mensejahterakan masyarakat desa.

Pembangunan Berbasis Lokal

Dalam rangka membangun perdesaan di masa yang akan datang PSEKP-UGM memberikan tawaran berupa rumusan kebijakan strategis pembangunan perdesaan yang diarahkan pada pembangunan berbasis lokal. Kebijakan strategis ini menitikberatkan pada proses pertumbuhan ekonomi dan perubahan struktural yang dimotori oleh masyarakat lokal dan memanfaatkan potensi-potensi lokal untuk pembangunan dalam upaya memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat lokal.

Karakeristik program untuk pembangunan perdesaan perlu dirancang secara khusus. Dalam hal ini PSEKP-UGM dan Kajian Strategi Nasional Pembangunan Perdesaan (SNPP) paling tidak menawarkan 5 (lima) karakteristik program perdesaan yang harus dipenuhi, yaitu:

Pertama, Program pembangunan dikembangkan didalam kerangka wilayah, bukan sektoral. Wilayah tidak hanya dianggap sebagai tempat dimana sumber daya dan kegiatan ekonomi terjadi, tetapi juga sebagai agen perubahan karena perusahaan dan pelaku-pelaku lainnya di wilayah tersebut berinteraksi satu sama lain untuk bersama-sama membangun perekonomian dan masyarakat. Kedua, Program pembangunan ekonomi perlu menjadi upaya yang diarahkan untuk memaksimumkan manfaat bagi daerah lokal melalui pemanfaatan sumber daya lokal, fisikal maupun manusia dan budaya. Pengembangan ekonomi perdesaan berbasis lokal harus berjalan seiring dengan peningkatan keberdayaan masyarakat. Ketiga, Program pembangunan perlu dikontekstualkan melalui pemusatan perhatian terhadap kebutuhan, kapasitas, dan perspektif masyarakat lokal yang berarti bahwa suatu wilayah seyogyanya mengembangkan kapasitasnya untuk melakukan pembangunan sosio-ekonomi yang khas wilayah tersebut. Keempat, Program Pembangunan tidak terbatas hanya pada aspek ekonomis, tetapi juga untuk memperlakukan masalah-masalah ekonomi, ekologis, dan sosial secara setara sehingga dapat diharapkan untuk menciptakan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Kelima, Pentingnya program pembangunan yang mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan politik, terutama keputusan yang ditentukan sendiri (self-determined) oleh masyarakat lokal dan mengacu kepada kebutuhan lokal.
Beberapa pemikiran di atas merupakan tawaran yang dapat menjadi referensi dalam merencanakan pembangunan perdesaan ke depan. Disamping itu, tentu para pelaku pembangunan dalam operasionalisanya perlu dilengkapi dengan 5 (lima) unsur pokok manajemen perubahan yaitu: visi, keterampilan, insentif, sumber daya, dan rencana tindakan, agar tidak menimbulkan kebingungan, keresahan, bahkan frustasi. Melalui upaya itu semua diharapkan pembangunan perdesaan dapat berjalan secara berkelanjutan dan tercapainya kesejahteraan masyarakat desa. Semoga.

Aris Ahmad Risadi
Pemerhati Masalah Perdesaan