Jumat, 27 Juni 2008

Pembangunan Daerah Tertinggal, Perlu Percepatan


Oleh :
Aris Ahmad Risadi

Kabinet Indonesia Bersatu pimpinan SBY-JK memunculkan istilah Daerah Tertinggal untuk menggantikan isu kesenjangan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), karena disadari bahwa persoalan disparitas antara wilayah ada di KBI maupun di KTI. RPJM Nasional menetapkan 199 kabupaten yang dikatagorikan sebagai Daerah Tertinggal, dimana 62 % (123 kab) ada di KTI, 29 % (58 kab) di Sumatera, dan 9 % (18 kab) ada di Jawa dan Bali.


Dalam Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (Stranas PPDT), Daerah Tertinggal dimaknai sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional yang penentuannya menggunakan enam kriteria dasar, yaitu: perekonomian masyarakat, sumberdaya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas, dan karakteristik khusus daerah (bencana alam, konflik, dan perbatasan negara).


RKP (Rencana Kerja Pemerintah) 2008 menjadikan pembangunan daerah tertinggal sebagai mainstream (arus utama) dari delapan prioritas pembangunan yang harus dilakukan oleh kementerian/lembaga. Komitmen ini merupakan peneguhan komitmen RKP 2007 yang telah menjadikan isu daerah tertinggal sebagai salah satu prioritas. Bagaimana dengan RKP 2009 yang saat ini mulai disusun Bappenas ? Seyogyanya komitmen terhadap daerah tertinggal harus terus ada, bahkan harus diperkuat, karena persoalan disparitas ini dalam era pemerintahan SBY-JK tampaknya semakin memburuk. Lihat saja, bencana alam yang merata terjadi di hampir seluruh wilayah nusantara telah meluluh lantahkan infrastruktur. Angka Kemiskinan terus meningkat, penyakit menular silih berganti (dari flu burung, demam berdarah, dll). Antrian panjang masyarakat saat membeli minyak tanah, saat meminta jatah zakat fitrah atau hewan kurban, telah mempertontonkan kepada kita bahwa kemiskinan sungguh sangat nyata.

Kehadiran Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) seharusnya mampu mewujudkan secara konkrit semua komitmen pemerintah terhadap daerah tertinggal melalui proses penetapan kebijakan, koordinasi pelaksanaan kebijakan, dan instrumen pembangunan daerah tertinggal sesuai mandat yang diberikan oleh Presiden (lihat Perpres No. 9/2005 dan Perpres No. 90/2006). Berbagai upaya memang telah dilakukan KPDT sesuai tupoksinya. Beberapa hasilnyapun telah dipublikasikan.


Dari hasil evaluasi paruh waktu (midterm review) yang dipublikasikan KPDT pada awal Januari 2008 diketahui bahwa secara makro telah ada keberpihakan Pemerintah terhadap daerah tertinggal. DAK (Dana Alokasi Khusus) kepada daerah tertinggal (dari tahun 2003 ke tahun 2007) mengalami pertumbuhan 115,8 % sementara DAK kepada daerah maju pertumbuhannya hanya 82,8 %, dan DAK rata-rata nasional pertumbuhannya 98,6 %. Begitu pula dengan DAU (Dana Alokasi Umum) dan Dana Bagi Hasil (DBH). DAU kepada daerah tertinggal mengalami pertumbuhan 41,2 % sementara DAU kepada daerah maju pertumbuhannya hanya 24,0 %, dan DAU rata-rata nasional pertumbuhannya 31,9 %. Sementara DBH kepada daerah tertinggal mengalami pertumbuhan 83,1 % sementara DBH kepada daerah maju pertumbuhannya hanya 53,7 %, dan DBH rata-rata nasional pertumbuhannya 67,5 %.


Gambaran dari sisi alokasi pendanaan ini dapat menjadi bukti bahwa Pemerintah telah merealisasikan komitmennya kepada daerah tertinggal. Keberpihakan ini telah menuai hasil positip walaupun kurang mendapatkan publikasi yang memadai. Menteri Negara PDT (Ir. Muhamad Lukman Edy) menginformasikan bahwa setelah 3 tahun bekerja, pada tahun 2007 ada 28 kabupaten yang dapat keluar sebagai daerah tertinggal.

Namun demikian tampaknya semua langkah diatas belum cukup membantu untuk menyelesaikan seluruh kriteria ketertinggalan yang dimiliki oleh 199 kabupaten tertinggal. Skema pendanaan yang ada (baca: DAK sektoral) belum menjawab secara spesifik kebutuhan pengentasan ketertinggalan suatu daerah. Kondisi infrastruktur daerah tertinggal, misalnya, belum banyak berubah dengan adanya DAK-DAK sektoral tersebut.

Ketika usulan Kementerian Negara PDT dan Bappenas untuk adanya DAK kewilayah (bagi daerah tertinggal) ditolak oleh Departemen Keuangan (baca: ketertinggalan hanya masuk sekedar kriteria penetapan DAK sektoral), maka harus segera dirumuskan bagaimana mengoptimalkan DAK-DAK sektoral ini agar dapat menjawab kebutuhan wilayah/daerah tertinggal. Kalau tidak, maka dana yang mengalir deras ke daerah tertinggal tidak dapat serta merta menyelasaikan masalah ketertinggalan.



Dalam Stranas PPDT, Kementerian PDT telah mengarahkan kementerian/lembaga dan daerah dalam percepatan pembangunan daerah tertinggal untuk fokus pada lima program prioritas yaitu: Pengembangan Ekonomi Lokal, Pemberdayaan Masyarakat, Peningkatan Kapasitas Kelembagaaan, Pengurangan Keterisolasian Daerah, dan Penanganan Karakteristik Khusus Daerah (bencana alam, konflik, dan perbatasan Negara). Dokumen ini sebetulnya relatif sudah tersosialisasi, dengan harapan dapat menjadi rujukan didalam penyusunan Rencana Aksi Sektor (RAS) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal.



Dengan belum efektifnya DAK-DAK sektoral didalam penyelesaian ketertinggalan suatu daerah mengindikasikan belum terkoordinasinya prioritas sektor dengan prioritas percepatan pembangunan daerah tertinggal. Sehubungan dengan itu, keberadaan kesatuan dokumen perencanaan didalam percepatan pembangunan daerah tertinggal tampaknya menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Terlebih masa bhakti SBY-JK tinggal dua tahun lagi.



Dalam dua tahun sisa masa bhakti, Kabinet SBY-JK perlu bekerja lebih keras. Kalau menggunakan ukuran kinerja 3 tahun sebelumnya, yang hanya mampu mengentaskan 28 kabupaten pada tahun 2007 (rata-rata 9 daerah tertinggal per tahun), maka kalau tidak ada upaya percepatan, mungkin pada tahun 2009 daerah tertinggal yang akan terentaskan hanya 46. Itu berarti 153 daerah lainnya akan tetap tertinggal.

Tidak ada komentar: