Kamis, 08 Oktober 2009

SWOT Perbatasan Negara KALBAR

oleh:
ARIS AHMAD RISADI

Faktor Kekuatan Internal

Beberapa faktor internal yang menjadi penguat (strenght) daerah perbatasan di Provinsi Kalimantan Barat diantaranya:
1) Telah dibentuknya BP2KKP (Badan Persiapan Pembangunan Kawasan Khusus Perbatasan). Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat telah menyiapkan kebijakan pengelolaan kawasan perbatasan dengan perencanaan yang sangat detail dengan melibatkan berbagai sector. Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 161 Tahun 2005 Tanggal 11 Mei 2005 dan Peraturan Gubernur Nomor 254 Tahun 2005 Tanggal 22 Juli 2005, dibentuk BP2KKP sebagai badan non-struktural yang diharapkan dapat mengkoordinasikan seluruh kegiatan yang ada di wilayah perbatasan.
2) Besarnya Sumber Daya Alam yang dimiliki dimana sekitar 81 % wilayah perbatasan merupakan kawasan hutan. Pengelolaan kawasan perbatasan di Provinsi Kalimantan Barat menjadi sangat khusus, di samping harus dapat menjaga keutuhan potensi dan kondisi kawasan hutan, juga harus mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan.

b. Faktor Kelemahan Internal

1) Belum optimalnya pelaksanaan tugas aparatur pemerintah daerah untuk mengantisipasi, mengakomodasi dan membuat aksi/program yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengembangan kawasan perbatasan;
2) Kesenjangan ekonomi masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan dengan masyarakat Malaysia sangat mencolok. PDRB per Kapita Kalimantan Barat sebesar $ 1.008, sedangkan PDRB Serawak sebesar $ 11.000 (BP2KKP, Tahun 2007). Perlu diperhatikan dampak sosial masyarakat perbatasan akibat kesenjangan yang mencolok seperti ini;
2) Kondisi pembangunan kawasan perbatasan negara hingga lima tahun pelaksanaan RPJMN masih tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain maupun dengan wilayah negara tetangga.
3) Terdapat penebangan liar (illegal logging) di kawasan hutan yang menjadi arel terluas kawasan perbatasan di Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini disamping merugikan Negara dari sisi penerimaan pajak (karena tidak terpungutnya pajak), juga dapat terjadinya degradasi lingkungan yang merugikan masyarakat secara langsung yaitu: banjir, longsor, erosi, kabut asap, pendangkalan sungai, perubahan pola curah hujan, dan rusaknya pemandangan.
4) Masih terbatasnya infrastruktur, terutama sarana dan prasarana dasar seperti: permukiman, jaringan air bersih, irigasi, telekomunikasi, dan transportasi. Hal ini dapat menyebabkan aksesibilitas yang rendah dan terisolasi dari wilayah sekitarnya. Kondisi berbanding terbalik dengan kondisi ketersediaan infrastruktur di wilayah perbatasan di Malaysia yang sudah sangat baik. JIka kondisi ini dibiarkan akan menambah ketimpangan yang sudah ada.
5) Rendahnya tingkat kesadaran hukum dan disiplin masyarakat di wilayah perbatasan serta rendahnya pengawasan di pos-pos perbatasan kerapkali memicu terjadinya kegiatan-kegiatan illegal (seperti: TKI illegal, illegal logging, illegal trading, illegal minning, trafficking, dan tindakan kriminalitas lainnya);
6) Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia di Provinsi Kalimantan Barat telah menyebabkan jumlah pengangguran terbuka yang semakin besar. Permasalahan ketenagakerjaan yang dihadapi adalah masih banyaknya pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam per minggu. Kondisi ini menyebabkan lapangan pekerjaan pada sector yang digelutinya menjadi kurang produktif yang mengakibatkan mereka berpendapatan rendah. Rendahnya produktifitas dan pendapatan menjadi sumber utama yang menyebabkan mereka sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan.

c. Faktor Peluang Eksternal

1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menetapkan kawasan perbatasan sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan pertahanan keamanan, yaitu kawasan yang diprioritaskan pengembangannya karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara dan pertahanan dan keamanan negara. Pengelolaan kawasan perbatasan yang tepat diharapkan dapat menjadi benteng NKRI yang tangguh dari berbagai bentuk ancaman.
2) Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM Nasional 2004-2009) telah menetapkan arah dan pengembangan wilayah perbatasan Negara sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Pembangunan wilayah perbatasan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah, pertahanan keamanan, serta meningkatkan kesehaternaan rakyat di wilayah perbatasan. Paradigma baru, pengembangan wilayah-wilayah perbatasan adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking” menjadi “outward looking” sehingga wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktifitas ekonomi dan perdagangan dengan Negara tetangga;
3) Telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Melalui undang-undang ini Pemerintah dan pemerintah daerah berwenang mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Dalam pengelolaan Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan. Untuk mengelola Batas Wilayah Negara dan mengelola Kawasan Perbatasan pada tingkat pusat dan daerah, Pemerintah dan pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola nasional dan Badan Pengelola daerah. Badan Pengelola dipimpin oleh seorang kepala badan yang bertanggung jawab kepada Presiden atau kepala daerah sesuai dengan kewenangannya. Keanggotaan Badan Pengelola berasal dari unsur Pemerintah dan pemerintah daerah yang terkait dengan perbatasan Wilayah Negara. Dalam rangka melaksanakan kewenangannya, Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten berkewajiban menetapkan biaya pembangunan Kawasan Perbatasan;
3) Dalam RencanaKerja Pemerintah (RKP), pembangunan wilayah perbatasan menjadi prioritas dalam rangka mengurangi disparitas pembangunan wilayah.
4) Ditetapkannya KAPET Sanggau melalui Keppres No. 13 Tahun 1998. Berdasarkan Keppres 89/1996, yang dimaksud dengan KAPET adalah wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan : memiliki potensi untuk cepat tumbuh; mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan/atau memiliki potensi pengembalian investasi yang besar.
5) Ditetapkannya 5 (lima) kabupaten perbatasan (Bengkayang, Sintang, Sanggau, Kapuas Hulu, Sambas) sebagai Daerah Tertinggal dalam RPJM Nasional 2004-2009 dan STRANAS PPDT 2004-2009. Dengan ditetapkannya sebagai Daerah Tertinggal maka daerah-daerah tersebut mendapat prioritas untuk diperhatikan oleh berbagai sektor dalam rangka pengurangan kesenjangan wilayah. Program Prioritas dalam rangka pembangunan Daerah Tertinggal meliputi: pengembangan ekonomi local, pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan, pengurangan keterisolasian daerah, dan penanganan karakteristik khusus daerah;
6) Memiliki akses darat ke Negara Malaysia, hal ini merupakan peluang yang dapat memudahkan mobilitas penduduk dan perdagangan antar ke dua Negara. Keberadaan Pos Lintas Batas (PLB) dan Pos Pemeriksaan Lintas Batas (PPLB) beserta fasilitas Bea Cukai, Imigrasi, Karantina, dan Keamanan (CIQS) sebagai gerbang yang mengatur arus keluar masuk orang dan barang di wilayah perbatasan sangat penting. Sebagai pintu gerbang negara maka sarana dan prasarana ini diharapkan dapat mengatur hubungan social ekonomi antar masyarakat Indonesia dengan Malaysia.
7) Sudah banyak lembaga atau kerja sama antara Indonesia dan Malaysia untuk penanganan perbatasan, diantaranya: (i) General Border Commtee (GBC) RI-Malaysia yang diketuai oleh Menhan, (ii) Joint Border Commission (JBC) RI-RDTL yang diketuai oleh Dirjen PUM DEPDAGRI, (iii) Joint Commission Meeting diketuai oleh Menlu menyangkut perbatasan laut, (iv) Sosek Malindo.

d. Faktor Ancaman/Tantangan Eksternal

1) Meskipun Indonesia telah mengeluarkan Deklarasi Juanda, meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 (dimana diatur tentang Archipelagic State) dan merupakan negara peserta Konvensi Chicago 1944, namun Indonesia masih belum secara keseluruhan menyepakati batas wilayah negara baik laut maupun darat dengan sejumlah negara tetangga. Masih belum tuntasnya kesepakatan penegasan batas Negara dimana masih terdapat 5 (lima) titik/patok garis batas yang belum selesai dirundingkan dengan Malaysia. Batas-batas yang masih menjadi masalah adalah pada posisi: Tanjung Dato, Titik D 400, Gunung Raya, S. Buang/G. Jagoi, dan Batu Aum. Khusus mengenai batas kawasan hutan, menurut Badan Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah III Pontianak (2005) disebutkan bahwa secara de jure maupun de facto batas kawsan hutan di dalam wilayah Indonesia dan sepanjang garis perbatasan dengan Malaysia tidak jelas dan tidak mantap;
2) Belum terkoordinasinya penanganan masalah-masalah perbatasan antar Negara.
3) Adanya penadah hasil kegiatan Illegal logging yang bermukim di Malaysia yang tidak tersentuh oleh hukum Indonesia.
4) Lebih dominannya penggunaan mata uang asing (ringgit) sebagai transaksi perdagangan oleh masyarakat perbatasan Indonesia.
5) Penegakan hukum kadang tidak berjalan ataupun lemah, karena: (i) adanya kepentingan oknum-oknum aparat penegak hokum, (ii) Insentif untuk melakukan pelanggaran hukum di perbatasan, seperti penyelundupan baik barang maupun orang, (iii) Kurangnya koordinasi, bahkan cenderung terjadi pertentangan antar instansi (ego sektoral dan kepentingan oknum)
6) Di pasar masyarakat perbatasan, barang-barang dari Malaysia mendominasi pasar : sembako, makanan, elektronik, barang pertanian dan barang otomotif. Sebagian dari barang tersebut tidak ada “bandrol” yang artinya barang-barang tersebut tidak terkena cukai. Barang-barang tersebut sangat digemari oleh masyarakat perbatasan karena barang-barang Malaysia dianggap memiliki kualitas tinggi, murah dan mudah di dapat. Barang dari Indonesia dianggap memiliki kualitas rendah, mahal dan sulit diperoleh.
7) Lemahnya daya saing produk industri di pasar regional/internasional yang antar lain disebabkan tingginya biaya yang tidak produktif akibat sarana dan prasarana layanan publik yang belum memadai.
8) Lemahnya keterkaitan antara industri hilir dengan industri kecil dan menenah , lemahnya struktur klaster industri-industri unggulan, serta penguasaan teknologi yang belum terbangun dengan baik.

Tidak ada komentar: